Keris Aeng Tong-tong menjadi identitas sekaligus lagu kepatuhan mereka pada warisan leluhur. Di sebuah desa di ujung pulau Madura itu kisah sebuah keris bermulah. Warganya hidup dengan cara lama yang diturunkan oleh para Luhur mereka.
Cara hidup mereka menyambungkan dimensi dari para Luhur sekaligus menjadi penyambung bagi kehidupan masa depan mereka yang hidup dari cerita tentang sebuah keris.
Suara gesekan gerinda dan baja bersahutan dari sudut-sudut Desa. Putaran cakram mengikis kulit baja, memunculkan gurat-gurat pamor keris. Untuk menjadi sebuah keris, jalan panjang yang harus dilalui para Mpu. Jalan yang diwariskan nenek moyang mereka selama ratusan tahun.
Mpu-Mpu di Aeng Tong-tong masih lekat menjaga ritual tradisi leluhur ketika membuat keris Bertuah, yang mereka sebut ageman. Dalam bahasa Jawa, ageman adalah pakaian atau busana. Artinya keris ageman adalah keris yang melekat dipakai orang yang memilikinya.
Untuk membuat keris ageman dibutuhkan proses dan waktu yang panjang. Bisa berbulan-bulan bahkan hitungan tahun. Ada yang meyakini keris ageman adalah teman hidup yang sejalan dengan karakter pemiliknya.
Membuat keris ageman harus dimulai dengan memilih hari yang baik, diawali puasa lalu diikuti dengan mantra-mantra yang jauh lebih rumit hingga pembuatannya memerlukan waktu berbulan-bulan.
Selain keris Ageman, Mpu di Aeng Tong-tong juga membuat keris cinderamata atau souvenir. Keris jenis ini tidak perlu diawali dengan ritual karena sifatnya sekadar hiasan.
Menurut Sanamo, mpu sekaligus ketua paguyuban pelar Agung, organisasi kumpulan ratusan mpu Aeng Tong-tong, keris cindera mata menjadi penopang kehidupan ekonomi warga desa. “Kalau dulu, keris ini nggak ada keris yang diperjual belikan. Pada zaman itu Mpu-mpu pembikin keris atas dasar orang memesan keris.”
Rangkaian prosesi ritual pembuatan keris ageman dimulai dengan menyiapkan sesaji yang berisi hasil bumi. Ada kelapa muda, pisang, lalu yang paling menonjol adalah nasi lima warna yang menujukan filosofi pada potongan-potongan proses pembuatan keris bertua. Tak lupa bilah besi yang nantinya akan ditempa dan dibentuk menjadi sebuah keris ageman.
Nasi merah melambangkan kedamaian dalam menahan hawa nafsu dan amarah, sementara nasi kuning mencerminkan kemakmuran dan keberlimpahan rezeki. Nasi biru melambangkan kehidupan yang penuh warna, nasi putih mewakili kesucian, dan nasi hitam berfungsi sebagai perisai untuk melindungi dari segala hal yang buruk.
Sesaji ini lantas dibawa ke makam Ki’ Kacang, leluhur Desa Aeng Tong-tong yang diyakini seorang empu keris. Tak sembarang orang bisa menjalankan prosesi ini. Jalal dan Sanamo dua dari ratusan Empu yang mampu melakukan ritual.
Doapun dirapal, menurut Sanamo doa ini sekaligus meminta restu kepada Ki’ Kacang agar keris yang nanti mereka buat sesuai harapan. Ini adalah aspek spiritual dari sebuah keris.
Usai membaca doa, ritual dilanjutkan dengan akat antara pemesan keris dengan Mpu Keris ditempat penempaan besi. Sekali lagi empu melafalkan doa untuk meneguhkan niat yang dilakukan dengan bersalaman dengan menyerahkan besi yang akan ditempa.