Hikayat Keris Aeng Tong-tong, Kesaktian Warisan Leluhur

Aeng Tong-tong, nama desa itu. Sebuah desa di Kecamatan Sarongi, Kabupaten Sumenep, Madura, yang namanya harum mendunia. Suara hentakan penempa baja menjadi pengantar rujukan ingatan masa lalu yang hingga kini menjadi pilihan masa hidup warga desa.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Menurut budayawan Sumenep Abdurrahman sastra diningrat Empu di Sumenep yang terakhir adalah Pangeran Adipati Prawirodiningrat pada tahun 1887. Ia adalah cucu dari Sultan karismatik keraton Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat.

Sejak saat itu tidak ada lagi Empu yang berkiblat pada raja. Keratun Sumenep berakhir pada 1929. Bukti hubungan antara Aeng Tong-tong dengan Keraton Sumenep salah satunya adalah keberadaan tiga tanah merdikan atau hadiah Raja. Tanah itu diberikan kepada leluhur mereka bernama Junserna, guru Raja Sumenep. Lalu Juk jimat pembuat Sikep atau jimat raja dan ju Asri panglima perang Keraton.

Tradisi keris terus hidup di Aeng Tong-tong meski Keraton Sumenep tak lagi eksis. Kehidupan Mpu di sana melintasi masa kelam ketika penjajah memperlakukan keris sebagai senjata.

- Advertisement -
Desa Aeng Tong-tong
Sala satu Mpu Desa Aeng Tong-tong yang tengah menempah besi untuk dijadikan keris. INT

Sikap Represif ditunjukkan penjajah baik di masa Belanda maupun Jepang. Siapa saja yang ketahuan membuat keris akan ditangkap bahkan dibunuh. hal ini membuat pembuatan keris di Aeng Tong-tong sempat terhenti dan dibuat secara sembunyi-sembunyi.

Era kemerdekaan menjadi momen kembalinya aktivitas pembuatan keris Aeng Tong-tong meski saat itu masih ada aturan izin membawa keris dari pemerintah Indonesia. Karya mereka disebut sebagai kamardikan sebutan untuk keris yang dibuat pasca kemerdekaan Republik Indonesia.

Keris pun diproduksi massal tiap-tiap keluarga di desa ini berperan pada bagian-bagian proses penciptaan keris. Ada yang mendapatkan pesanan untuk menghaluskan bilah keris yang baru melalui proses. Ada  tempa ada juga yang fokus pada pembuatan warangka. Menggunakan peralatan modern berupa bor elektrik, satu persatu warangka kayu ini dilubangi sesuai dengan bentuk keris.

- Advertisement -

Meski menjadi komoditas massal, para Mpu mengatakan keris tetaplah keris baik yang ageman ataupun cinderamata.  Semuanya dihasilkan dari proses yang sama yaitu ditempa bukan dicetak.

Baca Juga :  Rumah Baileo, Rumah Adat Maluku dan Maluku Utara

Asal Usul Mpu

Di tiap era sejarah nusantara, Mpu memiliki arti berbeda-beda. Menurut Abdurrahman sastradiningrat, budayawan sekaligus keturunan keenam Sultan Sumenep Abdurrahman Pakunataningrat, ada Empu yang berstatus sebagai keturunan raja namun ada pula Mpu adalah seorang Biasa yang menjadi panutan banyak orang.

Pada masa lalu, Mpu muncul dengan sendirinya tanpa diusahakan. Raja kadang-kadang mencari individu yang dianggap sebagai sosok yang warak. Istilah “warak” di sini merujuk pada seseorang yang dihormati dan dijadikan panutan oleh banyak orang. Individu tersebut dikenal sebagai sosok agamis yang menjalani kehidupan sehari-hari dengan sederhana, tanpa kesan berlebihan atau pencitraan.

- Advertisement -

Di era Jawa Klasik terutama di masa kerajaan Medang atau sebelum abad ke-10, Empu adalah sebutan bagi penguasa baik wilayah politik atau keagamaan. Namun terjadi pergeseran pemaknaan seiring semakin beragamnya cara hidup masyarakat.

Empu pada akhirnya identik dengan orang sakti sampai pembuat keris yang dikisahkan dalam serat pararaton atau kitab sastra di era Jawa muda.

Desa Aeng Tong-tong
Sejarah Desa Aeng Tong-tong tak lepas dari pengaru kerajaan zaman dulu yang kini masih bertahan.

Mpu sering kali diidentifikasi dengan penguasa atau kekuasaan, namun dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah keagamaan, jarang disebutkan secara eksplisit. Kita sering menemukan nama Mpu dalam prasasti-prasasti dari masa Medang, di mana hampir semua penguasa disebut sebagai “Raja” yang identik dengan Mpu. Namun, dalam konteks keagamaan, nama Mpu jarang disebut.

Sebuah kisah terkenal yang melibatkan Mpu adalah peristiwa dengan Mpu Gandring. Mpu Gandring terkenal sebagai pembuat keris yang memesan keris kepada Ken Arok. Namun, peristiwa tragis terjadi ketika Ken Arok membunuh Mpu Gandring setelah membuatkan keris.

Sebelum kematiannya, Mpu Gandring mengeluarkan kutukan yang terkenal, yang menyatakan bahwa keris buatannya akan membunuh tujuh nyawa. Kisah ini menciptakan asosiasi kuat antara Mpu dan kekuatan mistis dalam pembuatan keris.

Baca Juga :  Kampung Adat Boamara dan Rumah Adat Strata Tertinggi

Terlepas dari kebenaran mengenai keris yang dapat membunuh tujuh nyawa, fakta bahwa Empu Gandring membuat keris yang memiliki kesaktian dan keberkahan sangat terpatri dalam masyarakat. Kesan ini tetap kuat di Sumenep dan diakui bahwa Empu Gandring, seperti sesepuh zaman dahulu, memiliki keahlian khusus dalam menciptakan keris yang berenergi positif dan memiliki tuah.

- Advertisement -