Hikayat Keris Aeng Tong-tong, Kesaktian Warisan Leluhur

Aeng Tong-tong, nama desa itu. Sebuah desa di Kecamatan Sarongi, Kabupaten Sumenep, Madura, yang namanya harum mendunia. Suara hentakan penempa baja menjadi pengantar rujukan ingatan masa lalu yang hingga kini menjadi pilihan masa hidup warga desa.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Besi yang digunakan akan menentukan kualitas keris. Biasanya untuk keris Ageman, besi yang digunakan Pulau Sangu, Karang Kijang,  bahkan asteroid. puluhan bahkan ratusan besi itu ditempa pada suhu tinggi.  Tidak mudah menyatuk unsur-unsur pada lapis lapis besi agar menyatu.

Besi itu dilipat-dipipih-dilipat-dipipihkan lagi sampai semua unsur benar-benar menyatu. Lapisan-lapisan besi yang ditempa itulah yang menciptakan pamor atau motif-motif pada bilah keris.

Menurut budayawan Sumenep, Abdurrahman Sastra Diningrat, keris ageman atau pusaka harus memiliki tujuh kategori yakni: Tuah atau sifat gaib, sepuh atau tua, Wesi atau besi pilihan, wutuh atau utuh, kelima tangguh yang menunjukkan keris itu dibuat di era siapa, lalu keenan adalah bentuk atau dapur keris dan ketuju adalah pamor.

- Advertisement -

Pamor atau motif pada bilah keris digunakan untuk mengungkapkan makna dan karakteristik tertentu di dalamnya, mencerminkan unsur-unsur seperti usia atau tuanya. Sebagai contoh, pamor Melati dapat berkaitan dengan kerezekian duniawi, sementara pamor junjung derajat ditujukan untuk kemajuan dalam karier atau pangkat.

Penempaan besi bisa memakan waktu lebih dari satu hari bergantung bahan yang digunakan. Arang yang digunakan untuk memanaskan besi bukan sembarang arang. Ini adalah arang kelampok dari hasil olahan pohon jambu air. Salah memilih arang, besi yang ditempa bisa lumat dimakan api. Arang ini dibuat khusus untuk menempa besi Keris.

Usai ditempak, bahan bilah keris itu dirapikan dengan gerinda sebelum akhirnya dikikir untuk membentuk detail dapur atau bentuk keris. Untuk mengeluarkan pamor dibutuhkan proses warangi yaitu bila keris dicelupkan di cairan kimia untuk memunculkan pamor. pamor yang muncul adalah hasil penempaan Empu yang memiliki skill dan teknik tinggi.

- Advertisement -
Baca Juga :  Pasar Tomohon, Pasar Penjual Segala Macam Daging di Nusantara

Saat mencabut keris dari warangkanya, terdapat makna filosofis atau mantra yang khas. Proses ini diibaratkan sebagai hubungan suami dan istrinya.

***

Desa Aing Tong-tong tak serta-merta menjadi seperti sekarang ini. Menjadi sebuah desa yang membuat Sumenep diakui UNESCO sebagai Kota keris karena memiliki Empu terbanyak di dunia. saat ini tercatat ada sekitar 600 orang warganya menjadi Empu atau perajin keris.

- Advertisement -

Jejak langkah Epu di Aeng Tong-tong membantang selama ratusan tahun. Awalnya Desa Aeng Tong-tong lebih dikenal karena sejumlah tokohnya merupakan perawat pusaka-pusaka raja dan Keraton.

Desa Aeng Tong-tong
Blacksmith forging the molten metal with a hammer to make keris in the blacksmith’s workshop

Setiap tahun di bulan suro pusaka-pusaka itu diserahkan ke Desa Aeng Tong-tong untuk penjamasan. Penjamasan istilah dari mencuci keris agar tidak berkarat sekaligus merawat pamor keris tentu. Penjamasan dilakukan dengan serangkaian ritual.

Tidak ada catatan tertulis karena cerita ini diturunkan secara Tutur dari mulut ke mulut di lintasan generasi. Muncul nama tokoh-tokoh mulai Pangeran Bukabu seorang penguasa Sumenep pada abad ke-13 yang pertama kali membawa pandai besi ke desa ini.

Kemudian Junserna, tokoh yang menjadi guru Raja Sumenep sampai akhirnya, ki’ Kacang seorang mpu Aeng Tong-tong yang hidup awalan 1800-an yang diyakini adalah abdi dalam keraton Sumenep

Cerita rakyat tentang tokoh-tokoh tadi memiliki benang merah, yakni ada hubung antar Desa Aeng Tong-tong dengan  kekuasaan Keraton Sumenep. Dunia keris, mpu atau pembuat keris tidak bisa dipisahkan dari keberadaan raja. Pasalnya kepada rajalah pakem keris itu dijaga kelangenganyanya, raja menjadi episentrum dari keris itu sendiri.

- Advertisement -