Hikayat Keris Aeng Tong-tong, Kesaktian Warisan Leluhur

Aeng Tong-tong, nama desa itu. Sebuah desa di Kecamatan Sarongi, Kabupaten Sumenep, Madura, yang namanya harum mendunia. Suara hentakan penempa baja menjadi pengantar rujukan ingatan masa lalu yang hingga kini menjadi pilihan masa hidup warga desa.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Pandangan ini tercermin dalam keyakinan bahwa empu, baik di masa lalu maupun sekarang, memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa dalam membuat keris bertuah. Meskipun zaman telah berubah, tetapi kepercayaan pada kesaktian empu dan warisan spiritualitas dalam dunia keris tetap melekat.

Ini mencerminkan hukum alam yang menyatakan bahwa setiap zaman memiliki tokoh khususnya, dan dalam konteks keris, empu menjadi figur yang dihormati dan dianggap memiliki keahlian istimewa dalam menghadirkan keberkahan melalui karyanya.

Ika Arista, sebagai satu-satunya Empu perempuan di Aeng Tong-tong, mewakili generasi baru yang berusaha melanjutkan jejak sejarah perkerisan yang telah diwariskan oleh leluhurnya, terutama kakek dan ayahnya.

- Advertisement -

Ia memiliki cinta mendalam pada setiap potongan penciptaan keris. Ika menyadari adanya perbedaan signifikan antara Empu saat ini dengan para empu di masa lalu. Dia sering bertemu dengan orang-orang yang memiliki pandangan skeptis terhadap pilihan koleksi keris modern dibandingkan keris kuno.

Namun, Ika memberikan jawaban bahwa empu modern memiliki nilai tersendiri, dan meskipun terdapat perbedaan, keahlian mereka tidak boleh dianggap remeh. Pandangan ini, bahwa empu di masa lalu dianggap lebih sakti, seringkali menjadi citra yang umum di masyarakat.

Pada zaman dulu, sistem pembuatan keris melibatkan perjanjian dimana pemesan bertanggung jawab atas hajat hidup Mpu hingga keris selesai. Empu tidak memiliki pekerjaan sampingan lain selama proses pembuatan keris. Sistem ini tidak mengadopsi konsep jual beli dengan uang, tetapi lebih mengutamakan kompensasi dalam bentuk hasil bumi atau ternak sebagai bentuk penghargaan kepada Empu.

- Advertisement -

Budayawan Sumenep, Abdurahman Sasinga, menjelaskan bahwa pada masa tersebut, tidak ada akad jual beli yang melibatkan uang, melainkan kewajiban hati pemesan yang menjadi semacam kompensasi. Jika aturan ini dilanggar, dipercayai bahwa keris yang dihasilkan tidak akan memiliki keberkahan.

Baca Juga :  Sejarah Suku Kajang, Penjaga Hutan Terbaik di Dunia
- Advertisement -