Sejarah Suku Kajang, Penjaga Hutan Terbaik di Dunia

Washington Post menyebutkan kalo Suku Kajang yang berasal dari sulawesi selatan ini jadi suku penjaga hutan hujan terbaik loh.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Suku Konjo Kajang merupakan salah satu suku tradisional, yang terletak di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah timur Kota Makassar. Suku Konjo Kajang di bagi dua secara geografis, yaitu:

  1. Kajang dalam (suku kajang, mereka disebut “Kajang Ammatoa”) dan
  2. Kajang luar (orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative modern, mereka disebut “orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative modern, mereka disebut “tau lembang”).

Kajang Luar, yang telah merangkul kemajuan teknologi seperti listrik, berdiri berdampingan dengan Kajang Dalam, kawasan yang tetap setia pada nilai-nilai tradisionalnya.

Salah satu perbedaan mencolok antara keduanya adalah penerimaan teknologi. Kajang Luar telah mengenal listrik, sedangkan Kajang Dalam, khususnya kawasan Ammatoa, masih mempertahankan keaslian dengan menolak penggunaan listrik.

- Advertisement -

Bahkan, aturan ketat diberlakukan di Ammatoa, di mana setiap pengunjung yang ingin memasuki kawasan ini dilarang memakai sandal, karena dianggap sebagai produk teknologi yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional.

Tidak hanya itu, perbedaan mencuat dalam bentuk rumah yang menjadi lambang kehidupan masyarakat. Di Kajang Luar, dapur dan tempat buang air umumnya terletak di bagian belakang rumah, mengikuti pola umum di banyak daerah. Sementara di Kajang Dalam, terutama kawasan Ammatoa, dapur dan tempat buang air ditempatkan di depan rumah.

Keputusan ini diambil sebagai langkah perlindungan, terutama pada masa perang di mana prajurit Kajang sering masuk ke rumah penduduk mencari makanan. Penempatan di depan rumah juga bertujuan agar prajurit tidak melihat anak-anak pemilik rumah, mengingat prajurit beranggapan bahwa apa pun yang ada di dalam rumah adalah milik mereka.

- Advertisement -

Tidak hanya tentang teknologi dan bentuk rumah, Kajang juga terkenal dengan hukum adatnya yang kuat dan masih berlaku hingga saat ini. Masyarakat Kajang menjauhkan diri dari modernisasi, kegiatan ekonomi, dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Kehidupan mereka yang erat terkait dengan lingkungan hutan membuat mereka melestarikan pandangan hidup adat yang diyakini mereka.

Baca Juga :  Filosofi Balla Lompoa, Rumah Adat Makassar

Warna hitam menjadi simbol kesakralan dalam adat Kajang. Memasuki kawasan Ammatoa, pakaian berwarna hitam menjadi keharusan. Warna hitam melambangkan persamaan dalam segala hal, termasuk kesederhanaan.

Setiap orang, tanpa memandang latar belakang atau status sosial, dianggap setara dalam warna hitam. Ini mencerminkan kekuatan dan kesetaraan di hadapan Sang Pencipta, serta komitmen untuk menyikapi lingkungan dengan menjaga keaslian hutan sebagai sumber kehidupan.

- Advertisement -

Dengan perpaduan antara peradaban teknologi dan kekayaan tradisi, Kajang Luar dan Dalam menjadi cermin unik dari keberagaman budaya di Indonesia. Mereka berhasil menyelaraskan dua dunia yang kontras, menciptakan harmoni antara masa lalu dan masa kini.

Filosofi Tempat Tinggal 

Suku Kajang, sebuah komunitas yang menghuni daerah Sulawesi Selatan, memiliki tradisi unik dalam pembangunan rumah mereka. Sebagian besar rumah suku ini menghadap ke Barat, sebuah keputusan yang tidak diambil begitu saja. Bagi mereka, Barat bukan hanya sebuah arah, melainkan simbol dari kehadiran nenek moyang mereka.

Setiap rumah yang dibangun oleh Suku Kajang memiliki karakteristik seragam, mengekspresikan nilai-nilai kesederhanaan dan keseragaman. Konsep ini mencerminkan keinginan mereka untuk tetap setia pada warisan nenek moyang tanpa adanya perbedaan yang mencolok.

Namun, keunikan tidak hanya terletak pada arah rumah, tetapi juga dalam pemilihan material pembangunan. Suku Kajang secara konsisten menghindari penggunaan batu bata atau tanah sebagai bahan bangunan. Bagi mereka, membangun rumah dengan bahan-bahan tersebut dianggap sebagai suatu pantangan. Keyakinan ini timbul dari pandangan bahwa hanya orang yang sudah meninggal yang layak diapit oleh liang lahat dan tanah.

Meskipun demikian, terdapat keluarga di Suku Kajang yang melanggar aturan tersebut dengan menggunakan batu sebagai bahan bangunan rumah. Menariknya, meskipun mereka masih hidup, keluarga-keluarga ini dianggap “mati” oleh Suku Kajang lainnya, sejalan dengan pantangan yang dipegang teguh.

Baca Juga :  Gawi Ende Lio, Tarian Persatuan dan Persaudaraan Etnis Lio
- Advertisement -