Sasando, Alat Musik Tradisional Untuk Meminang Putri Raja

Sasando dalam bahasa Rote, ‘Sasandu’, yang berarti alat yang bergetar atau berbunyi, sebagai salah satu alat musik tradisional. Sekali Dipetik Tujuh Dawai Bergetar.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Sasando adalah alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sasando merupakan alat musik berdawai yang dimainkannya dengan cara dipetik dengan menggunakan jari.

Sasando dalam bahasa Rote, ‘Sasandu’, yang berarti alat yang bergetar atau berbunyi. Sasando sering dimainkan untuk mengiringi nyanyian syair,tarian tradisional dan menghibur keluarga yang berduka. Sebagai salah satu alat musik tradisional, eksistensi sasando masih tetap terjaga hingga saat ini.

Meski terlihat mirip, terdapat bagian khusus yang membedakan sasando dengan jenis instrumen petik lainnya. Alat musik berdawai ini memiliki bagian utama berbentuk tabung panjang yang terbuat dari bambu.

- Advertisement -

Di bagian tengah tabung terdapat ganjalan melingkar dari atas ke bawah. Sementara itu, bagian senar direntangkan mulai dari atas hingga ke bagian bawah tabung dan dikaitkan dengan paku kayu.

Bagian tabung tersebut diletakkan pada tempat yang terbuat dari anyaman daun lontar yang dibentuk setengah melingkar seperti kipas. Adapun paku kayu bagian atas tabung dapat diputar untuk mengatur ketegangan senar. Umumnya, sasando memiliki sepuluh senar.

Sasando kecil berukuran 30 sentimeter, sementara sasando besar berukuran 50 sentimeter dengan lebar 30 sentimeter. Bentuknya yang unik, membuat sasando kerap dijadikan miniatur untuk dikoleksi.

- Advertisement -

Masyarakat Nusa Tenggara Timur memainkan sasando pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, ketika upacara penghiburan bagi kerabat atau orang yang sedang berduka cita, pengiring upacara adat dan tarian, menyambut tamu penting, atau sekadar sebagai alat hiburan.

Terdapat dua jenis permainan sasando dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur. Pertama, sasando yang dimainkan oleh penduduk Pulau Rote. Umumnya, masyarakat Rote memainkan sasando diiringi dengan nyanyian dan sejenis drum kecil.

Jenis permainan kedua, dimainkan oleh masyarakat Pulau Sabu. Berbeda dengan masyarakat Rote, permainan sasando di Pulau Sabu hanya diiringi oleh vokal, tanpa iringan drum maupun gendang.

- Advertisement -
Baca Juga :  Ma'toding, Tradisi Toraja Memberikan Uang Kepada Penari

Untuk memainkan sasando, diperlukan keterampilan jari dalam memetik tiap bagian senar. Pemain harus menggunakan kedua tangan dengan arah yang berlawanan. Tangan kanan berfungsi untuk memainkan akor, sementara tangan kiri mengatur melodi dan bas.

Tak hanya cara memainkannya yang perlu diperhatikan, perawatan sasando juga tak boleh terlewatkan. Alat musik tradisional ini memerlukan pemeliharaan rutin dengan mengganti daun lontar setiap lima tahun sekali karena daunnya mudah berjamur.

Sejarah Sasando 

Terdapat berbagai versi mengenai sejarah lahirnya alat musik ini. Beberapa versi itu menurut cerita legenda orang Rote antara lain adalah menceritakan seorang Pemuda bernama Sangguna (1950-an) yang terdampar di Pula Ndana ketika melaut. Oleh penduduk Ia dibawa kerajaan.

Sangguana yang memiliki bakat seni membuat putri istana terpikat. Sang Putri pun meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi memainkan alat musik yang indah dan merdu. Ia pun menghilami dan menciptakan alat musik tersebut yang diberi nama Sandu artinya begetar.

Ketika sedang memainkannya Sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan dan Sangguana menjawab ? Sari Sandu? Alat musik itupun ia berikan kepada Sang Putri yang kemudian menamakannya Depo Hitu yang artinya Sekali Dipetik Tujuh Dawai Bergetar.

Lalu versi cerita lainnya menceritakan bahwa Sasando diciptakan oleh dua orang sahabat yaitu Lunggi dan Balok Ama Sina yang adalah seorang penggembala domba sekaligus penyadap tuak.

Ketika mereka sedang membuat haik dari daun lontar diantara jari-jari dari lembaran daun lontar terdapat semacam benang/fifik yang apabila dikencangkan akan menimbulkan bunyi.

Dari pengalaman inilah menimbulkan inspirasi kedua sahabat itu untuk membuat suatu alat musik petik yang dapat meniru suara atau bunyi-bunyian yang ada pada gong, dengan cara mencungkil tulang-tulang daun lontar yang kemudian disenda dengan batangan kayu.

Baca Juga :  Keunikan Desa Torosiaje, Kampung di Atas Laut Tempat Suku Bajo Bermukim

Karena suara yang dihasilkan kurang bagus, maka kemudian diganti dengan batangan bambu yang dicungkil kulitnya serta disenda dengan batangan kayu.

- Advertisement -