Songkok To Bone, Ranah Karya Budaya Masyarakat Bone

Songkok To Bone tergolong sebagai ranah karya budaya kemahiran kerajinan tradisional masyarakat di Bone.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Bone merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Bone sering disebut dengan kota beradat yang dikenal dengan masyarakatnya yang entitas, hidup dari kebajikan-kebajikan yang terus menerus eksis, dari dulu sampai sekarang. Masyarakatnya yang berkarakter dan juga konsep hidupnya yang sangat melekat pada diri mereka sejak masih di dalam kandungan.

Inilah alasan mengapa sebagian besar masyarakat Bone berhasil menjalani dinamika kemanusiaan, mereka memegang berbagai ajaran atau dalam bahasa bugis disebut dengan “pangngadereng” ajaran tersebut berisi tuntunan-tuntunan dalam bersikap atau berperilaku pada sebuah keadaan serta menjadi manusia yang bermakna.

Masyarakat Bone patut bangga, mengapa? Karena Songkok To Bone yang merupakan Songkok Orang Bone resmi menjadi warisan budaya tak benda Indonesia. Penetapan itu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Malam Apresiasi Penetapan warisan Budaya Tak benda Indonesia. Songkok To Bone tergolong sebagai ranah karya budaya kemahiran kerajinan tradisional masyarakat di Bone.

- Advertisement -

Berbicara tentang Songkok To Bone atau bisa disebut dengan Songkok Recca, atau Songkok Pamiring, yang awalnya dinamakan Songkok Recca ketika Raja Bone ke-15 Arung Palakka menyerang Tanah Toraja tahun 1683 hanya berhasil menduduki beberapa Desa di Wilayah Makale-Rantepao. Laskar Tanah Toraja melakukan perlawanan sengit terhadap pasukan Arung Palakka. Di periode inilah Songkok tersebut disebut dengan Songkok Recca.

Kerajaan Bone pada masa lampau mengenakan sarung yang diikat di pinggang atau dalam bahasa bugis “Mabbida atau Mappangare’ Lipa’”. Sedangkan kerajaan Tanah Toraja memiliki kebiasaan mengenakan sarung tapi sarungnya di selempang, dalam bahas bugis “Massaleppang Lipa”.

Ketika pertempuran di malam hari, kedua pasukan sulit untuk dibedakan, karena kedua laskar  kerajaan tersebut mengenakan sarung. Hal itulah yang membuat Arung Palakka ( Raja Bone ke-15 ) menyiasati dan memerintahkan kepada pasukannya untuk menggunakan tanda di kepala mereka untuk menjadi pembeda diantara kedua kerajaan tersebut, dengan memakai Songkok Recca’.

- Advertisement -
Baca Juga :  Ma'Nene, Tradisi Mayat Berjalan di Tana Toraja yang Kini Berusia Ratusan Tahun

Pada pemerintahan La Mappanyukki (Raja Bone ke-32), Songkok Recca menjadi Songkok kebesaran bagi raja, bangsawan, dan para pengawal-pengawal di Kerajaan Bone tersebut. Untuk membedakan tingkat derajat dianatar mereka, Songkok Recca’ kemudian dibuat dengan pinggiran emas atau “Pamiring Pulaweng” yang menunjukkan strata sang pemakai.

Pada masa ini tidak sembarang orang yang bisa mengenakan Songkok tersebut, hanya anggota dalam kerajaan dan juga adat tuju, pada masa inilah songkok ini disebut dengan “Songkok Pamiring”.

Di tahun 1957 rakyat Kerajaan Bone menyatakan bahwa mereka bergabung dengan NKRI, setelah 2 tahun kemudian terbitlah Undang-undang Nomor 29 Tanggal 4 Juli Tahun 1959, Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, termasuk pembentukan pada Kabupaten Bone.

- Advertisement -

Pada masa ini maka berakhirlah sistem pemerintahan kerajaan di Bone. Pada masa ini juga Songkok Pamiring bisa dipakai siapa saja, yang tidak lagi memandang raja, bangsawan, orang kaya dan sebagainya.

Di periode inilah songkok tersebut di namakan “Songkok To Bone” yang artinya “Songkok Orang Bone”.

Songkok To Bone, selain asal dari songkok tersebut dari Bone, tapi juga merupakan cipta, rasa, dan karsa masyarakat Bone. Walaupun sekarang sudah banyak Songkok To Bone diproduksi di luar dari daerah Bone. Maka dari itu tidak di pertentangkan Songkok Recca maupun Songkok Pamiring, dan Songkok To Bone semua sama saja. 

Sebelumnya mengapa dinamakan Songkok Recca’, karena Songkok Recca terbuat dari serat pelapah daun lontar dengan cara dipukul-pukul, atau dalam bahasa bugis “direcca-recca” kemudian hanya seratnya saja yang tersisa. Serat tersebut berwarna putih namun beberapa jam kemudian berubah warna menjadi kecolatan, untuk mengubah warnanya menjadi hitam, serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari, bukan diberi pewarna.

Baca Juga :  Lipa Saqbe, Tenun Sutra Warisan Mandar dengan 11 Motif

Dalam menganyam serat tersebut menjadi songkok, pengrajin menggunakan acuan atau pola yang disebut dengan “Assareng”. Yang terbuat dari kayu nangka dan dibentuk sehingga menyerupai songkok. Assareng  inilah yang digunakan dalam merangkai serat yang kemudian menjadi Songkok To Bone.

Songkok To Bone sudah menjadi warisan Budaya Nasional, dan Songkok ini merupakan identitas masyarakat Bone, dan juga identitas suku Bugis, Nasional, dan kini telah menjadi indentitas dunia.

- Advertisement -