Kerajaan Sakra, Sejarah dan Keruntuhan

Perang Sakra terjadi antara tahun 1824-1828 M dan menghancurkan Sakra. Setelah kekalahan mereka, pihak Sakra menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Karangasem.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Terjadi perang Puputan Sabil antara Pejanggik dengan pihak Karangasem. Sedangkan Pemban Mas Meraja Kusuma tidak diizinkan untuk ikut puputan sabil oleh ayahandanya, Pemban Mas Komala Kusuma. Meskipun marah, ia tidak berani menentang perintah ayahnya.

Tugasnya adalah menyelamatkan segala yang dapat diselamatkan dan meninggalkan Lombok untuk menjaga kelangsungan generasi mendatang, dengan harapan dapat merebut kembali kekuasaan yang telah hilang di masa mendatang. Ia menetap di Sumbawa dan mendirikan pemukiman baru sebagai langkah awal imigran Lombok di pulau tersebut, tepatnya desa Jelenga di wilayah kecamatan Jereweh saat ini.

Meskipun bersumpah untuk tidak pernah menginjakkan kaki di pulau Lombok lagi, ia mempersiapkan generasi penerusnya, Pemban Penganten Purwadadi, sebagai putra mahkota dalam generasi berikutnya. Dia diangkat menjadi raja dalam pengasingan, didampingi oleh adiknya, Deneq Laki Mas Orpa, dan saudara dari selirnya, Rade Nune Ratmaja Tember.

- Advertisement -

Setelah kerajaan Purwadadi, yang menjadi benteng terakhir Pejanggik, dihancurkan oleh Karangasem dan Banjar Getas, sebagian besar prajurit melarikan diri ke hutan-hutan sekitarnya, beberapa di antaranya bahkan menuju Sumbawa.

Karangasem merasa curiga terhadap pertumbuhan kekuatan Banjar Getas setelah menghancurkan Purwadadi. Mereka menyadari bahwa Pejanggik lebih membenci Banjar Getas daripada Karangasem sendiri.

Oleh karena itu, Karangasem mengirim utusan untuk mengundang Pemban Penganten Purwadadi kembali ke Lombok dengan syarat ia menjalin hubungan baik dengan Karangasem dan Bini Ringgit, yang nantinya akan memainkan peran penting dalam sejarah Sakra, bahkan Lombok secara keseluruhan.

- Advertisement -

Pada tahun 1800 M, rombongan dari Gowa di bawah pimpinan Karaeng Manajai datang untuk meninjau kondisi bekas wilayah kekuasaan Gowa, termasuk Lombok. Mereka menemukan Selaparang yang telah runtuh dan menemukan jejak kerajaan Pejanggik yang masih terkait dengan Selaparang.

Baca Juga :  Sejarah Masjid Kuno Gunung Pujut, Peninggalan Abad ke-17

Dari Labuan Lombok, mereka kemudian berlayar ke Labuan Tanjung Luar untuk bertemu dengan Deneq Laki Mas Orpa. Kesepakatan perkawinan politik kemudian terjadi antara Pemban Bini Ringgit, putri Deneq Laki Mas Opra, dengan Karaeng Manajai. Sebelum perkawinan itu berlangsung, Karaeng Manajai kembali ke Goa untuk menyelesaikan urusannya.

Kemudian, pada tahun 1805 M, dia kembali ke Lombok dan menikahi Pemban Bini Ringgit. Dia ditugaskan di wilayah Ganti yang berbatasan dengan Banjar Getas. Perkawinan ini melahirkan seorang putra bernama Dewa Mas Panji Komala yang akan memimpin perlawanan pertama Sakra terhadap kekuasaan Karangasem. Putri lainnya dari perkawinan Karaeng Manajai dan Pemban Bini Ringgit bernama Denda Bini Nyanti.

- Advertisement -

Sebagai keturunan seorang petualang, Dewa Mas Panji Komala sudah memisahkan dirinya dan tinggal di Beleka sejak usia muda, yang juga dipengaruhi oleh ketegangan antara orang tuanya. Ibunya, Pemban Bini Ringgit, merasa tidak puas dengan pernikahan Karaeng Manajai dengan seorang gadis dari Gelanggang bernama La Bunga.

Perkawinan antara Pemban Bini Ringgit dan Karaeng Manajai dari Goa membuat khawatir para musuh mereka, terutama kerajaan di Bali. Mereka khawatir dengan kondisi Karangasem yang terkena masalah internal dan berpotensi konflik saudara antara Mataram, Pagesangan, Pagutan, dan Singasari yang dianggap lebih tua.

Oleh karena itu, Karangasem segera mendekati Sakra dan menuntut perlakuan yang sama melalui perkawinan politik. Mereka mengincar Denda Bini Nyanti. Namun, Sakra hanya mengirim puluhan gadis dari kalangan biasa untuk dipilih, yang semuanya ditolak dan dikembalikan. Raja Karangasem kemudian menyata kan akan datang sendiri dengan segala kehormatan dan kebesarannya.

Menyikapi rencana tersebut, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Kelompok moderat, terutama Karaeng Manajai, berpendapat bahwa tawaran raja Karangasem sebaiknya diterima secara politis. Mereka berargumen bahwa ini bisa menjadi persiapan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan di masa depan.

Baca Juga :  Istana Dalam Loka, Arsitekturnya Menyimbolkan Syariat Islam

Di sisi lain, terutama di kalangan generasi muda, muncul sikap militansi yang didukung oleh Pemban Bini Ringgit yang kecewa terhadap suaminya. Bahkan, ia menyebut suaminya sebagai orang luar yang tidak memahami perasaan rakyat dan pengawal yang setia dan siap mati membela kehormatan kerajaan Sakra, penerus Pejanggik.

Pemban Bini Ringgit berpendapat bahwa saatnya yang tepat untuk memanfaatkan ketidakstabilan dalam puri Singasari dan antara saudara-saudaranya. Sakra mulai mempersiapkan diri dengan menghubungi berbagai pihak yang diharapkan dapat memberikan dukungan. Bahkan, untuk mendapatkan dukungan dari Sumbawa, Goa, dan orang-orang pesisir pantai, Dewa Mas Panji Komala bersama ibu dan adiknya ditarik ke Sakra.

Dewa Mas Panji Komala, meskipun masih sangat muda, diangkat menjadi raja sekitar usia 16 tahun. Dia menjadi simbol pemersatu dan juga seorang panglima perang. Gerakan dimulai dengan membersihkan wilayah timur. Desa-desa yang tidak sepenuhnya mendukung mereka diserang dengan kekerasan, para pemimpin dan keluarganya ditawan dan dibawa ke Sakra.

Meskipun Karangasem berhasil merebut sebagian wilayah, Sakra tetap berusaha mempertahankan posisinya. Meski beberapa serangan besar berhasil dihentikan, mereka tidak menyadari bahwa Karangasem sedang mempersiapkan pasukan yang lebih terlatih dan profesional serta menggunakan taktik dan strategi yang lebih canggih.

- Advertisement -