Ada Apa di Nagekeo?

KM XXX telah merapatkan jangkarnya. Gemericik hujan di pelabuhan Labuan Bajo, Kabupaten xxx, menyambut saya malam itu, akhir oktober 2021.

Para porter merumpi sambil menunggu rezeki. Pukul 18.35, pintu keluar kapal dibuka. ramai kegaduhan bercampur dan berbaur. Mereka Menyerbu masuk ke kapal.

Kuseret tas ranselku menuruni tangga. Hari itu labuan bajo memperlihatkan wajah yang murung. Setahun lalu saat saya berkunjung kesini, kota yang terkenal dengan pariwisata super premium itu ramai wisatawan.

Namun, hari itu, perekonomian labuan bajo yang bergantung pada pariwisata itu seakan mati. Jalan lengan, kantor dan toko tutup, pesawat batal terbang, hotel kosong, warung berhenti beroperasi, jutaan orang kehilangan pekerjaan, daya beli menurun, investasi ambyar, orang orang tak diperbolehkan bepergian. Alasan terbesarku berada di flores hari itu untuk menghidari keterkurungan menyebalkan itu akibat pandemi.

Lalu apa tujuan kamu kesini? kata salah satu warga di ruang tunggu pelabuhan yang ibah melihatku duduk sendiri. “Mau ke Nagekeo, bang”. Dari labuan Bajo ke Mbay, Nagekeo butuh 2 hari perjalanan darat.

Yang jadi masalah, tak ada kendaraan umum yang langsung menuju ke kota yang saya tuju. Jarak yang jauh mengharuskan saya mencari mobil tujuan ruteng terlebih dahulu lalu melanjutkan perjalanan di pagi hari dengan tujuan Mbay.

Bus di flores berbentuk bos mini atau oto bus yang penuh sesak. Pera penumpang ditumpuk dimana saja asal masih ada ruang kosong. Ayam hingga kambing kadang juga jadi penumpang. Kadang motor pun ikut nangkring di bagian belakang oto.

Dengan ongkos 100rb, saya duduk bersama penumpang lain diantara tumpukan barang saat Minibus bergerak ke arah barat. Lagu-lagu berdendang rancak mengalir mengisi udara. Menemaniku ke barat, melewati ratusan kilometer ke arah gunung-gunung tinggi di kejauhan sana.

Langit mulai gelap ketika saya tiba di pasar Mbay, sambil menunggu sahabat, perhatian ku pusatkan ke kota asing yang sepi itu.

Dilihat dari langit, mbay bagai barisan permadani hijau bergulung gulung di tepi laut, ditebari rumah rumah penduduk membentuk mozaik warna warni. Pemukiman itu berhadapan langsung dengan biru kristal lautan teduh yang membentang luas tak terbatas. Mbay jadi pintuh masuk Distinasi destimasi surgawi di sudut tersembunyi. Hijau, luas dan mempesona.

Ibu kota kabupaten nagekeo ini berkontur datar nan subur, dikurung pegunungan tinggi yang salah satunya gunung api aktif. Mata pencarian utama warganya bertani dan nelayan. Bagi sebagian orang, Nagekeo mungkin terdengar asing. saat salah satu teman Instagram saya malah mengira daerah ini adanya di Papua.

Selama 3 bulan 2 minggu, kami membingkai keindahan daerah ini. mengumpulkan sekitar 23 tulisan.

Mengumpulkannya dengan Mengunjungi kampung adat karismatis, permandian air panas alami, pantai nan menawan. Menapaki padang rumput, menyerap kemegahan khazana tradisi dan kemilau adat istiadat ataupun bernostalgia akan masa lalu.

Kemistisan kampung adatnya, Berbaur dalam aliran waktu bersama warga nagekeo hingga Menyicip kuliner legendari semuanya akan menjadi cerita dalam laporan khusus dimensi indonesia bertema: Ada Apa di Nagekeo?

Sebuah kisah perjalan yang dibuat dimensi indonesia untuk mengenalkan surga kecil yang damai dan tersembunyi.