Perjalanan Panjang Tari Tea Eku Boawae Tahun 1979 Hingga Kini

Lebih jujur dari kebanyakan budaya orang Nagekeo, Boawae menjadi daya tarik luar biasa. Sepanjang perjalanan nenek moyang hingga anak cucu masa kini dapat tercatat dengan baik dan sempurna. 

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Tentu, pada dataran wilayah Nagekeo sebagian dari ulayat yang kehilangan adat istiadat, budaya, tradisi atau bahasa ibu merupakan hal yang paling berbahaya.

Dengan demikian hal paling mendasar tidak lain, lambat laun terjadi kehilangan lebih besar adalah eksistensi keberadaan manusia pemilik ulayat, dimana kekuasaan sepenuhnya bukan lagi dari generasi pemilik ulayat. 

Lebih jujur dari kebanyakan budaya orang Nagekeo, Boawae menjadi daya tarik luar biasa. Sepanjang perjalanan nenek moyang hingga anak cucu masa kini dapat tercatat dengan baik dan sempurna. 

- Advertisement -

Saya berasa beruntung setelah memperoleh Buku Diskripsi Tari “TEA EKU” terbitan tahun 1991 oleh Departmen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi NTT dalam Proyek Pembinaan Kesenian Nusa Tenggara Timur tahun 1990 s/d 1991. 

Tentang Tari Tea Eku

Menurut informasi para tua adat setempat bahwa tari Tea Eku tumbuh sejak masa hidup leluhur pertama yaitu Banga Langa, Siu Seba dan Mesi Dheo diamana tempat pemukimannya belum diketahui secara pasti. 

Hanya diketahui dari keturunan mereka bermukim di Okideru, Batako di Desa Leguderu lalu ke Natanage di desa Nagesapadhi yang dapat dikenal oleh Ajolizu dan Kodhi Teki. 

- Advertisement -

Dari Keturunan Ajolizu/Kodhi Teki terdapat tiga kelompok suku masing-masing suku Tegu, Sodha dan Anawa. Dari ketiga suku tersebut terpencar-pencar dan bermukim di Doberako, Udawolo, Nagemi, Taeteda, Bokodhi dan Wolobidiau. 

Zaman dulu peperangan sering terjadi antar suku untuk merebut lahan pertanian, batas wilayah kampung, akibat penghinaan dan lain-lain yang bersifat pertentangan. 

Sebelum berangkat perang atau kembali dari perang dengan kemenangan. Dua tarian yang selalu dipersembahkan kepada para pejuang mereka adalah tari Toda Gu dan Tari Tea Eku. 

- Advertisement -

Toda Gu adalah tari laki-laki yang memperagakan gerak-gerak perang di medan tempur, sedangkan Tea Eku adalah tari perempuan yang bermakna menerima para pejuang yang baru kembali dari medan perang dengan membawa kepala musuh sebagai tanda kemenangan.

Baca Juga :  Penelitian Budaya Mbay dan Penguatan Histori melalui Peran Mosa Tana Laki Watu

Setelah Indonesia merdeka dan perang tanding antar suku semakin jarang, maka tari Tea Eku nyaris jarang dipentaskan. Untuk tetap melestarikannya, maka berubahlah fungsinya menjadi tari penerima tamu dalam upacara- upacara adat setempat, seperti upacara pembangunan rumah baru, perbukaan kebun baru, Pogo Peo potong tiang pemali, sesudah penen dan pesta adat lainnya. Bahkan tari Tea Eku sudah digarap sebagai tari pertunjukan dalam acara Visit Indonesia Year pada tahun 1991.

Visit Indonesia Year adalah salah satu kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Kebijakan yang dimulai pada awal tahun 1991 terinspirasi dari tren pariwisata yang berkembang di wilayah Asia Tenggara pada saat itu, yaitu penetapan branding pariwisata.

- Advertisement -