Namanya Benteng Keraton Buton atau dikenal juga sebagai Benteng Wolio karena dibangun di atas Bukit Wolio. Bukit laut ini berada di Kota Baubau, ibu kota Kabupaten Buton.
Luas Benteng mencapai 23,375 hektare (ha) dengan panjang keliling tembok benteng mencapai 2.740 meter. Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) bersama Guinness Book of World Record pada September 2006 menobatkan Benteng Wolio sebagai bangunan pertahanan terluas di dunia.
Terletak di puncak bukit setinggi 100 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan lereng yang cukup terjal menjadikan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi benteng tampak pemandangan menakjubkan Kota Baubau dan hilir mudik kapal di Selat Buton.
Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton. Benteng didirikan sebagai pusat pertahanan dan peradaban masyarakat Buton saat menghadapi penjajah Portugis, selain melindungi diri dari serangan bajak laut.
Benteng itu hanya berjarak sekitar 3 km atau sekitar 5 menit berkendara dari pusat kota. Benteng ini berdiri mengelilingi tiga dusun meliputi Baluwu, Peropa, dan Dete di Kelurahan Melai, Kecamatan Wolio.
Benteng Wolio berasal dari kata welia yang artinya ‘membabat’. Itu karena sewaktu masa pembangunannya dilakukan pembabatan dan penebangan pohon-pohon besar di sekitar bukit.
Desain bangunannya menarik dan memiliki bentuk arsitektur unik karena terbuat dari batu gunung dan karang yang direkatkan dengan putih telur memakai campuran pasir dan kapur. Tinggi dan tebal temboknya tidak sama, mengikuti kontur tanah atau lereng bukit.
Pada bagian-bagian bukit yang terjal tinggi tembok mencapai delapan meter dengan ketebalan sampai dua meter. Pada bagian dalam sisi timur dan selatan terdapat turap-turap sebagai penahan atau penguat.
Benteng Unik
Benteng Keraton Buton memiliki empat buah boka-boka atau pos pengintai (bastion) di empat penjuru, 12 buah lawa atau pintu gerbang, 16 benteng kecil (baluara), parit dan sistem persenjataan berupa badili atau meriam sepanjang buatan Portugis dan Belanda. Di dalam Benteng Keraton Buton terdapat Masigi Ogena atau Masjid Agung, istana sultan (kamali), makam-makam sultan, dan pejabat tinggi serta rumah adat malige.
Ada pula perkampungan penduduk dengan rumah-rumah tradisional yang masih ditempati hingga saat ini oleh sekitar 700 kepala keluarga (KK). Rumah-rumah penduduk ini terhubung langsung dengan lingkungan istana melalui lawa.
Terdapat pula Sulana Tombi, yaitu tiang bendera setinggi 21 meter yang dibangun pada tahun 1712 di masa Sultan Buton Sakiuddin Darul Alam. Tiang bendera terbuat dari kayu jati ini berada di halaman Masjid Agung dan digunakan untuk mengibarkan longa-longa, bendera milik kesultanan berbentuk segitiga.
Di halaman masjid juga terdapat jangkar raksasa yang diambil dari kapal dagang VOC yang karam di perairan Buton pada 1592. Menurut Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) Susanto Zuhdi, Benteng Keraton Buton adalah cagar budaya yang sangat langka jika dilihat dari jenis dan keunikan rancangannya karena jumlahnya sangat sedikit di seluruh Indonesia. Kesultanan Buton adalah pemilik dari benteng ini.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 2010 tentang Penetapan Hari Jadi Kota Baubau dan Perubahan Penulisan Baubau disebutkan bahwa Kerajaan Buton bertransformasi menjadi Kesultanan Buton pada 17 Oktober 1541. Hal ini ditandai dengan dilantiknya Lakilaponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Wilayah Kesultanan Buton cukup luas. Kini di bekas wilayah kesultanan telah berdiri beberapa kabupaten dan kota bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Muna Barat, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Selatan, dan Kota Baubau.
Pemandu wisata di Benteng Keraton Buton, Laode M Adam Vatiq menceritakan, Benteng Keraton Buton mulai dibangun pada masa Sultan Buton III La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin, yang memerintah Buton pada 1591-1596.
Semula, benteng tersebut hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang disusun mengelilingi kompleks istana. Tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Kemudian pada masa pemerintahan La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin sebagai Sultan Buton IV, benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen. Pembangunan benteng rampung seluruhnya ketika La Buke sebagai Sultan Buton VI, yang memerintah Buton pada 1632-1645.