Siapa yang Menciftakan Kapal Pinisi?

Meskipun termasuk kapal tradisional, kapal Pinisi memiliki tampilan yang megah. Kemegahan kapal ini terlihat dari ciri khas dua tiang utama serta tujuh layar, dengan tiga layar terletak di bagian depan, dua di bagian tengah, dan dua di bagian belakang. Untuk lebih lengkapnya, simak video ini.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Ada beberapa teori lokal mengenai asal-usul nama Pinisi. Menurut sebuah tradisi setempat, nama Pinisi diberikan oleh seorang Raja Tallo, yaitu I Mangnginyarrang Daeng Makkiyo, kepada perahunya. Nama tersebut berasal dari dua kata, yaitu picuru, yang berarti contoh yang baik, dan binisi, yang diambil dari nama sejenis ikan kecil yang lincah dan tangguh di permukaan air, serta tidak terpengaruh oleh arus dan ombak.

Sumber lain menyatakan bahwa nama Pinisi berasal dari bahasa Bugis, dari kata panisi, yang berarti sisip atau mappanisi, yang berarti menyisipkan, mengacu pada proses mendempul. Karena lopi di panisi berarti perahu yang disisip atau didempul, telah disarankan bahwa kata panisi mengalami perubahan fonemis menjadi pinisi.

Nama Pinisi juga mungkin berasal dari kata pinasse, sebuah kata dalam bahasa Jerman dan Prancis yang menandai kapal layar ukuran sedang. Kata ini kemudian diserap menjadi pinas atau penis oleh orang Melayu setelah tahun 1846.

- Advertisement -

Diperkirakan bahwa kapal Pinisi mulai dibuat sejak abad ke-14, atau bahkan sebelumnya. Seperti yang dilansir dari laman resmi Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, kapal Pinisi pertama kali dibuat oleh putra mahkota kerajaan Luwu, Sawerigading, pada abad ke-14. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah naskah La Galigo.

Dalam epos tersebut, diceritakan bahwa Sawerigading dibuatkan sebuah kapal dari pohon Welereng yang disebut dengan waka welenreng untuk perjalanannya ke negeri Cina, guna mempersunting seorang putri dari negeri tersebut yang bernama Wecuddai. Setelah berhasil mempersunting pujaan hatinya, ketika ingin berlayar pulang ke Luwu, perahu Sawerigading tenggelam dan terpecah belah di Selat Selayar.

Kapal Finishi

- Advertisement -

Pecahan-pecahan kapal tersebut terdampar di pesisir Lemo-Lemo, Bira, dan Ara, yang kemudian dikumpulkan oleh masyarakat setempat dan disusun kembali menjadi perahu pertama yang dibangun di daerah itu.

Baca Juga :  Sureq La Galigo III: Pertempuran di Alam Arwah

Namun, berdasarkan penelitian lebih lanjut terhadap naskah La Galigo, disebutkan bahwa cerita tentang Sawerigading tersebut tidak ditemukan dalam naskah La Galigo. Oleh karena itu, para peneliti menyimpulkan bahwa cerita tentang Sawerigading hanya sebuah dongeng atau legenda masyarakat yang dituturkan secara turun-temurun.

Sebutan tertulis tertua yang jelas menunjukkan adanya pembuatan perahu di ujung tenggara Sulawesi Selatan berasal dari berbagai catatan karya Cornelis Speelman, pemimpin armada Kompeni India Timur Belanda, yang pada tahun 1666 hingga 1669 menyerang dan menaklukkan Kesultanan Makassar.

- Advertisement -

Dalam ratusan halaman notulen tulisan tangan tentang kegiatan Speelman selama perang tersebut, terdapat juga beberapa laporan tentang keadaan Sulawesi pada masanya. Penyebutan istilah “Pinisi” yang paling awal, baik dalam sumber asing maupun dalam negeri, yang jelas mengacu pada jenis kapal layar dari Sulawesi, ditemukan dalam artikel tahun 1917 di majalah Belanda Coloniale Studien. Artikel tersebut menyebutkan tentang kapal dari Sulawesi yang menggunakan sistem layar sekunar gaya Eropa.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sekunar atau schooner adalah jenis kapal layar yang memiliki dua atau lebih tiang, dengan tiang bagian depan biasanya sedikit lebih pendek daripada tiang utamanya. Catatan para sejarawan menyebutkan bahwa penggunaan sistem layar depan-belakang tipe Eropa pada kapal-kapal pribumi Nusantara baru dimulai pada paruh pertama abad ke-19, dan baru pada awal abad ke-20 sejumlah besar kapal dari Sulawesi dilengkapi dengan layar seperti itu.

Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, para pelaut Sulawesi sendiri masih menyebut kapal mereka dengan istilah Palari, yaitu jenis kapal dengan lambung yang paling sesuai dengan tenaga penggerak layar Pinisi. Menurut penelitian, pada abad ke-19, para pelaut Sulawesi mulai menggabungkan layar-layar persegi panjang besar dari layar tanja dengan jenis-jenis layar depan dan belakang yang mereka lihat pada kapal-kapal Eropa yang berlayar di Nusantara.

Baca Juga :  Mata Air Cipantan, Wisata Menyeramkan Majalengka

Banyaknya kapal Eropa yang melintas di perairan Nusantara ini disebabkan oleh fakta bahwa sejak awal abad ke-18, VOC mulai membangun kapal-kapal bergaya Eropa untuk perdagangan inter-Asia di galangan-galangan kapal Jawa, termasuk versi Belanda dari layar depan dan belakang yang baru. Selama abad ke-19, angkatan laut kolonial dan perusahaan perdagangan Eropa India dan Cina mengoperasikan kapal sekunar barat yang jumlahnya terus meningkat.

Jauh sebelum dikenal kapal Pinisi pada abad ke-19, para pelaut Sulawesi sudah menggunakan jenis kapal Padewakang. Pada mulanya, layar sekunar dipasang di atas lambung Padewakang. Selama beberapa dekade awal ini, para pelaut Nusantara dan pembuat kapal mengubah beberapa fitur dari sekunar barat yang asli.

Pinisi berevolusi dari lambung dasar Padewakang dengan layar depan dan belakang menjadi model lambungnya sendiri dengan layar Pinisi pribumi. Para pelaut Sulawesi juga memutuskan untuk menggunakan kapal jenis Palari yang berhalauan tajam dan lebih cepat.

- Advertisement -