Pinisi, Kapal Berlayar Tujuh yang Mampu Menaklukan Tujuh Samudera

Kapal layar yang termasuk ke dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO, teknologinya masih bisa kita saksikan sampai saat ini. Sangat luar biasa.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Kata pinisi mengacu pada jenis konfigurasi tiang pembawa layar yang digunakan. Satu buah pinisi yang disematkan di tubuh kapal, membawa tujuh sampai delapan layar pada dua buah tiang.

Tidak seperti kebanyakan kapal layar barat, dua layar utama pada kapal pinisi tidak dibuka dengan menaikkan spar yang ditempelkan, tapi layarnya ditarik seperti tirai di sepanjang sekat yang dipasang di sekitar tengah tiang.

Pinisi adalah salah satu penakluk laut yang sangat legendaris di masanya.  Sejarahnya sudah dimulai dari seorang putra mahkota Kerajaan Luwu pada abad ke-14 yang bernama Sawerigading.

- Advertisement -

Menurut kisah, kapal pinisi pertama dibuat dengan menggunakan kayu pohon dewata atau welengreng. Pemilihan pohon ini konon bukan hanya karena kayunya yang kuat dan tidak mudah rusak, tapi karena ada kekuatan-kekuatan spiritual tak terlihat yang menjaganya. Sebelum pohon ditebang, berbagai ritual adat dilakukan demi menjaga keselamatan.

Awalnya, kapal ini dibuat putra mahkota untuk merebut hati seorang putri dari Kerajaan Tiongkok, We Cudai. Dengan menggunakan pinisi, Sawerigading berhasil sampai ke tanah asal sang pujaan dan mempersuntingnya. Setelah waktu berlalu, timbul keinginannya untuk pulang lagi ke kampung halaman. Sawerigading pun pulang dengan menggunakan kapal yang sama.

Sayangnya, saat perjalanannya kembali dari Tiongkok, kapalnya hancur dihantam gelombang besar di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bulukumba. Kapalnya terbelah dan terdampar ke 3 daerah: Lemo-lemo, Tana Beru dan Ara. Dibantu oleh masyarakat lokal, Sawerigading kemudian menyusun kembali sisa-sisa kapalnya dan membuatnya jadi lebih besar. Kapal inilah yang kemudian kita kenal dengan nama pinisi.

- Advertisement -

Peristiwa hancurnya kapal Sawerigading tidak hanya membuat Lemo-lemo, Ara dan Tana Beru sebagai tempat kelahiran kapal pinisi, tapi juga menjadi simbol gotong royong bagi penduduk setempat.

Baca Juga :  Sejarah Gunung Tambora, Letusan Dahsyat Dua Abad Silam
Kapal Pinisi
Proses pembuatan Kapal Pinisi.

Selain kisah Sawerigading, ada beberapa versi lain yang menceritakan asal usul kapal pinisi. Ada yang menyebut bahwa nama pinisi berasal dari dua kata yakni picuru dan binisi yang artinya contoh baik dari kapal ikan kecil yang tangguh dan lincah. Kapal ini konon merupakan kepunyaan Raja Tallo, I Manyingrang Dg Makkilo.

Ada juga yang mengatakan bahwa nama pinisi sebenarnya berasal dari kata panisi atau mapanisi yang dalam bahasa Bugis berarti menyelipkan atau menyisipkan. Penyebutan ini diberikan pada proses pelapisan dempul-lopi dipanisi yang digunakan untuk merekatkan kapal.

- Advertisement -

Penyebutan istilan pinisi dalam sumber asing maupun sumber asli tertulis adalam artikel yang diterbitkan tahun 1917 oleh Belanda Coloniale Studiën. Diartikel itu, pinisi disebut sebagai kapal dengan model sekunar bergaya Eropa, Schooner sailing vessel.

Pada catatan sejarah, penggunaan anjungan depan dan belakang kapal tipe Eropa mulai digunakan kapal-kapal asli Kepulauan Melayu pada abad ke-19. Menjelang abad ke-20, penggunaan layar pada kapal dari Sulawesi semakin banyak. Sampai pertengahan abad ke-20, pelaut Sulawesi sendiri masih menyebut kapal mereka dengan istilah palari yang mengacu pada jenis lambung tenaga penggerak untuk kapal pinisi.

Di abad ke-19, pelaut Sulawesi mulai menggabungkan anjungan tradisional dengan anjungan ala kapal barat. Dari sinilah pinisi berevolusi. Awalnya menggunakan model lambung dasar kapal padewakang dengan rig depan dan belakang sampai terbentuk model lambungnya sendiri dan rig pinisi seperti yang kita kenal sekarang.

Seiring waktu, para pelaut dan pembuat kapal Indonesia mengubah berbagai fitur di dalam kapal dan merombak modelnya dari sekunar model barat yang asli. Pinisi dari Sulawesi diperkirakan dibuat pertama kali pada tahun 1906 oleh pembuat kapal di Desa Arad dan Lemo-lemo. Mereka membangun pinisi pertama untuk seorang nakhoda Bira.

Baca Juga :  Sawah Jatiluwih dan Warisan Budaya Dunia
- Advertisement -