Pagi itu, udara Yogyakarta masih lembap. Di dapur rumah tradisional di sudut Kota Gede, aroma manis jambu rebus bercampur harum kayu manis menguar dari panci tembaga yang mengepulkan uap tipis. Seorang ibu paruh baya dengan lembut mengaduk rebusan itu, sesekali menambahkan cengkih dan gula pasir. “Ini setup jambu, minuman kesukaan Sultan,” katanya sambil tersenyum.
Begitulah cara setup jambu bercerita — bukan lewat kata, tapi lewat aroma dan rasa. Ia adalah kisah lama yang masih bertahan di setiap rumah Yogyakarta, diwariskan turun-temurun dari dapur keraton ke meja-meja rakyat.
Jejak Manis dari Dapur Sultan
Dalam buku Dari Bir Jawa Sampai Wedang Uwuh, peneliti kuliner tradisional Murdijati Gardjito menulis bahwa setup berarti “buah yang direbus bersama gula dan rempah”. Di masa Sri Sultan Hamengkubuwono IX, teknik sederhana ini melahirkan sebuah minuman istimewa: setup jambu.
Kala itu, jambu biji merah dipilih bukan hanya karena rasanya yang manis, tapi juga warnanya yang lembut — merah muda yang tampak elegan di dalam gelas kristal di meja makan keraton. Ketika uap hangatnya naik perlahan, aroma jambu bercampur kayu manis dan cengkih menghadirkan sensasi yang menenangkan.
Minuman ini disajikan setelah santapan utama, di sela alunan gamelan yang lembut. Ia bukan sekadar minuman penutup, tetapi simbol keseimbangan — antara rasa manis dan asam, antara kesegaran dan kehangatan, antara tubuh dan jiwa.
Ritme Dapur Jawa: Perlahan, Penuh Kesabaran
Membuat setup jambu bukan tentang resep, tapi tentang ritme. Di dapur tradisional Jawa, semuanya dilakukan dengan tempo yang lambat. Buah jambu dipotong besar-besar agar seratnya tidak hancur saat direbus. Air, gula, dan rempah dimasukkan satu per satu, seperti mantra yang diucapkan dalam diam.
Ketika rebusan mulai bergolak pelan, warna air berubah menjadi merah muda keemasan — warna yang seperti matahari sore di ufuk selatan Yogyakarta. Uapnya mengisi ruangan, mengundang rasa rindu akan masa lalu.
Di titik inilah setup jambu menjadi lebih dari sekadar minuman: ia adalah meditasi, cara masyarakat Jawa menghormati waktu dan keseimbangan alam.
Dari Meja Keraton ke Ruang Tamu Rakyat
Seiring waktu, setup jambu keluar dari tembok keraton dan menetap di rumah-rumah rakyat. Ia hadir di meja makan keluarga, di acara kenduri, arisan, dan pesta pernikahan. Dalam gelas kaca sederhana, cairan merah muda itu menjadi simbol keramahan Yogyakarta: lembut, bersahaja, dan penuh kehangatan.
Di banyak rumah, aroma rebusan jambu menjadi pertanda tamu akan datang. “Kalau ada setup jambu, berarti rumah ini sedang bahagia,” begitu ungkapan lama yang masih dipercaya hingga kini.
Rasa yang Menyembuhkan
Selain menyegarkan, setup jambu adalah warisan pengetahuan tubuh dan alam. Jambu biji merah mengandung vitamin C tinggi dan antioksidan, dipercaya memperkuat daya tahan tubuh. Cengkih dan kayu manis berperan menghangatkan, sementara jeruk nipis memberi keseimbangan asam yang menyejukkan tenggorokan.
Setiap teguk setup jambu seperti meneguk keseimbangan — antara rasa manis yang menenangkan dan rempah yang menghangatkan tubuh dari dalam.
Tradisi yang Menyesap di Masa Kini
Kini, setup jambu mulai menemukan bentuk barunya. Di kafe-kafe heritage di sekitar Taman Sari dan Prawirotaman, minuman ini hadir dengan tampilan modern: disajikan dingin dalam gelas tinggi berembun, dihias potongan jambu segar, kadang ditambah madu atau soda.
Namun di balik estetika modern itu, esensinya tetap sama — kesabaran, keseimbangan, dan rasa hormat terhadap tradisi. Karena di Yogyakarta, makanan dan minuman tidak pernah hanya soal rasa, melainkan juga tentang cara hidup.
Meneguk Waktu, Menyimpan Warisan
Setup jambu adalah warisan cair — ia mengalir dari generasi ke generasi, dari dapur Sultan hingga cangkir di tangan kita hari ini. Setiap teguknya mengingatkan bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan sesuatu yang terus berdenyut, hangat, dan hidup dalam keseharian.
Ketika uap rebusan jambu naik perlahan dari panci tanah liat, kita seolah meneguk bukan sekadar minuman, melainkan sejarah — rasa manis yang membawa kita pulang pada Yogyakarta yang lembut, bersahaja, dan penuh cerita.


