Es Kapal Solo, Jejak Manis yang Tersisa dari Gerobak Lancip di Kota Budaya

Di tengah riuhnya lalu lintas dan hiruk-pikuk Pasar Gede, aroma sirup gula jawa dan roti tawar yang lembap masih sesekali tercium dari sudut-sudut kota Solo.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Bagi sebagian orang, aroma itu bukan sekadar tanda minuman manis yang menyegarkan—melainkan pintu kenangan yang membawa mereka kembali ke masa lalu, ke dekade 1950-an, ketika sebuah gerobak unik berujung lancip menjadi simbol kesegaran musim panas: es kapal.

Menelusuri Jejak “Kapal” yang Tak Pernah Berlayar

Meski bernama “kapal”, minuman ini sama sekali tidak berbentuk seperti bahtera. Nama itu justru lahir dari bentuk gerobak para penjualnya di masa lalu. Menurut catatan dalam buku Kuliner Tradisional Solo yang Mulai Langka karya Dawud Achroni, para pedagang es kapal dahulu membawa gerobak dengan ujung lancip menyerupai haluan kapal.

Di situlah awal mula nama unik ini muncul—sebuah bentuk kreativitas rakyat yang mengubah gerobak sederhana menjadi simbol kebahagiaan kecil di siang yang terik.

- Advertisement -

Pada masa keemasannya, sekitar tahun 1950 hingga 1970-an, gerobak es kapal mudah ditemukan di gang-gang Solo, terutama di sekitar sekolah dan pasar. Anak-anak berlari dengan uang logam di tangan, menunggu giliran untuk menikmati segelas kesegaran yang sederhana: es serut, sirup cokelat buatan sendiri dari gula jawa, dan potongan roti tawar yang diletakkan lembut di atasnya.

Rasa yang Sederhana, Namun Mengikat Kenangan

Es kapal bukan sekadar minuman. Ia adalah karya tangan dan rasa dari masa ketika semua dibuat dengan ketelatenan. Sirup cokelatnya direbus perlahan hingga gula jawa larut sempurna, menghasilkan warna cokelat pekat dan aroma khas karamel alami.

Saat disiram di atas es serut dingin, cairan itu mengalir lembut, berpadu dengan tekstur roti tawar yang menyerap manisnya sirup dan dinginnya es. Hasilnya: sensasi yang tidak sekadar menyegarkan tenggorokan, tetapi juga menghangatkan hati dengan nostalgia.

- Advertisement -

Di setiap teguknya, ada cita rasa gurih dari roti yang berpadu manisnya gula, serta rasa otentik dari tangan-tangan pedagang yang mempertahankan resep tanpa bahan pengawet atau pewarna buatan. Inilah es kapal—minuman rakyat yang menggambarkan kesederhanaan dan kehangatan kota budaya Solo.

Baca Juga :  Filosofi Papeda dan Nilai Leluru Didalamnya

Menjaga Tradisi di Tengah Zaman yang Berubah

Kini, keberadaan es kapal semakin jarang. Modernisasi menggeser selera, dan gerobak-gerobak lancip itu perlahan hilang dari pandangan. Hanya segelintir penjaja tua yang masih setia mempertahankan tradisi, mengayuh gerobak di bawah terik matahari dengan harapan bahwa ada satu-dua pelanggan muda yang penasaran pada rasa masa lalu.

Namun harapan belum sirna. Banyak warga Solo kini mencoba menghidupkan kembali es kapal di rumah mereka sendiri. Bahannya sederhana dan mudah didapat: es serut, roti tawar, sirup cokelat dari gula jawa, dan sedikit susu kental manis jika ingin memberi sentuhan modern. Lebih dari sekadar resep, usaha itu menjadi upaya kecil menjaga warisan kuliner agar tidak tenggelam dalam arus waktu.

- Advertisement -

Warisan Manis dari Sebuah Kota yang Tak Pernah Lupa

Solo bukan hanya kota batik dan keraton—ia juga kota yang menyimpan ribuan cerita lewat kuliner rakyatnya. Es kapal adalah salah satu di antaranya, minuman yang mungkin tampak sederhana, namun menyimpan lapisan sejarah, budaya, dan kenangan di setiap sendoknya.

Dan seperti kapal yang berlayar menembus ombak waktu, es kapal terus berusaha bertahan—menjadi saksi bagaimana rasa manis dari masa lalu tetap bisa kita temukan, selama masih ada yang ingin mencicipi dan mengingatnya.