Tradisi Pasola. Tidak semua perang menyebabkan perpecahan. Di Indonesia justru ada peperangan sebagai wujud terimakasih dan permohonan kesuburan panen.
Umumnya perang merupakan sebuah hal yang sangat dihindari. Tak dapat dipungkiri bila peperangan menyebabkan banyak penderitaan. Tetapi ada beberapa perang di Indonesia yang justru ditunggu-tunggu dan rutin digelar, Pasola mislanya.
Tenang, Pasola bukan seperti perang pada umumnya. Perang Pasola merupakan sebuah ritual adat yang selalu diadakan setiap tahunnya di Indonesia Timur, tepatnya di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tradisi ini diadakan setiap bulan Februari atau Maret, namun tanggal pastinya yang akan menentukan ialah seorang Rato (tokoh adat). Pasola diadakan dalam rangka merayakan musim panen serta memohon pengampunan.
Dalam tradisi ini, wisatawan bisa menyaksikan langsung atraksi perang tombak antar suku dengan menunggang kuda. Tombak yang digunakan juga bukan tombak yang tajam, namun tetap saja akan ada yang terluka, entah Kuda tunggangan ataupun para peserta Pasola.
Kisah Percintaan Tragis Asal Mula Pasola
Tradisi ini tidak lepas dari kisah seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di Kampung Waiwuang. Ia adalah janda dari Almarhum Umbu Dulla, dan kemudian mempunyai suami bernama Umbu Amahu salah satu pemimpin kampung itu.
Kemudian Umbu Amahu pergi mengembara dengan dua pemimpin lainnya yaitu Ngongo Tau Masusu dan Bayang Amahu. Karena tak kunjung kembali, tiga pemimpin tersebut dianggap telah meninggal.
Pada masa itu Rabu Kaba terpikat oleh pria lain dari kampung Kodi, Teda Gaiparona. Namun cinta mereka tak direstui oleh keluarga sehingga mereka memutuskan untuk kawin lari. Suatu ketika, tiga pemimpin kampung Waiwuang kembali termasuk Umbu Amahu suami Rabu Kaba.
Rabu Kaba yang sudah jatuh cinta dengan Teda Gaiparona tidak ingin kembali dengan Umbu Amahu. Akhirnya Umbu Amahu memerintahkan warga Waiwuang untuk mengadakan tradisi menangkap nyale (cacing laut) dan Pasola untuk melupakan kesedihan tersebut.
Rangkaian Proses Upacara Adat Pasola
Sebelum pelaksanaan ritual Pasola, masyarakat Sumba Barat melakukan tradisi nyale terlebih dahulu. Pada tradisi ini, masyarakat memancing cacing laut di tepi pantai. Tradisi ini dilakukan saat bulan purnama berlangsung. Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat diberlangsungkan.
Pasola diadakan di tanah lapang yang sangat luas. Perang antar suku ini biasanya melibatkan lima puluh sampai seratus peserta. Masing-masing peserta menunggang kuda sambil membawa tombak bambu berukuran 1,5 m.
Tombak bambu yang digunakan memang tidak tajam, namun tetap saja bisa menyebabkan korban jiwa. Mereka akan beradu diatas kuda yang dipacu kencang sambil mengayunkan tombak masing-masing hingga lawan terjatuh.
Tetesan Darah yang Membawa Berkah
Uniknya, setiap tetes darah yang jatuh akibat peperangan ini justru dianggap bisa membawa berkah. Semakin banyak darah yang jatuh ke tanah, semakin subur pula tanah mereka. Suara teriakan dan semangat dari peserta bagaikan musik yang mengiringi jalannya tradisi ini.
Konon, korban jiwa yang jatuh dalam tradisi ini ialah mereka yang mendapatkan hukuman dari Dewa karena melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan. Kuda yang digunakan dalam tradisi ini juga bukan kuda sembarangan, melainkan kuda jenis Sandalwood, kuda asli dari Sumba.
Gagahnya Kuda Para Peserta Tradisi Pasola
Kuda Sandalwood atau Kuda Sandel merupakan kuda pacu asli dari Indonesia yang dikembangkan di Pulau Sumba. Kuda Sandel ini mempunyai postur yang cenderung lebih rendah dibandingkan kuda ras Amerika dan Australia. Konon kuda ini hasil persilangan dari Kuda Arab dengan Kuda poni lokal.
Sandalwood biasa digunakan untuk kuda tarik, kuda tunggang, bahkan kuda pacuan. Nama Sandalwood sendiri diambil dari pohon cendana yang dulu banyak berkembang di Pulau Sumba dan menjadi komoditi utama pulau ini.
Keistimewaan dari kuda ini terletak pada kecepatan dan daya tahannya. Sehingga menjadikan kuda Sandalwood atau Sandel menjadi salah satu kuda poni terbaik di Indonesia.