Di ujung malam, ketika bintang-bintang bergeser perlahan, para penyanyi mencapai klimaks. Irama melambat, suara mereka menghilang dalam kesyahduan, meninggalkan gema yang menyentuh hingga ke relung jiwa. Setelah lingkaran berhenti, ritual itu belum berakhir. Para penyanyi melepas kaitan jari mereka, satu per satu, memberi ruang bagi mereka yang hendak keluar atau bergabung.
Malam itu, tidak ada yang lelah meski Ma’badong berlangsung hingga fajar. Setiap lirik, setiap langkah, adalah wujud cinta dan penghormatan terakhir. Di akhir ritual, Rampo menutup dengan satu kalimat:
“Kehidupan adalah lingkaran. Dalam kematian, kita tidak hilang. Kita hanya berputar, kembali ke asal.”
Lingkaran perlahan bubar, meninggalkan jejak kaki di tanah yang berembun. Dan di sanalah, di bawah sinar matahari pertama, keluarga Tumang menyadari satu hal: meski Manta Tumang telah tiada, suaranya akan selalu bergema dalam nyanyian semesta.
Lihat postingan ini di Instagram
Nyanyian dari Lesung Bintang
Langit di atas Tana Toraja tampak penuh dengan cahaya dari bintang-bintang buatan—satelit kecil yang berkilauan seperti berlian. Mereka beredar mengelilingi bumi, mengumpulkan cerita dari zaman ke zaman. Di sebuah dataran tinggi yang sepi, teknologi masa depan bersanding dengan adat istiadat purba dalam sebuah ritual Ma’badong, nyanyian yang telah melintasi ribuan tahun tanpa kehilangan maknanya.
Malam itu, rumah adat beratap tinggi menyerupai tanduk kerbau berdiri megah di tengah perkampungan. Di halaman luasnya, sebuah lingkaran mulai terbentuk. Issung—lingkaran melingkar yang sempurna—dibuat oleh para penyanyi. Puluhan pria dan wanita saling bergandengan jari kelingking, tubuh mereka bergerak pelan seperti jarum jam dalam irama kosmis. Lingkaran ini tampak lebih dari sekadar manusia; gerakannya seolah menggambarkan orbit sebuah planet, melingkari bintang yang bersemayam di tengah.
Di tengah lingkaran itu berdiri sebuah perangkat kuno sekaligus futuristik: Aurora Soundcraft, sebuah alat penggabung nada yang memadukan suara manusia dengan gema digital dari masa lalu. Pemimpin kelompok, Rampo, seorang tominaasando—ahli sastra religius—menyentuh permukaan alat tersebut. Suaranya menggelegar lembut, seolah muncul dari sudut ruang dan waktu yang berbeda.
“Engkau, yang tak lagi di sini, dengarkanlah. Kami bernyanyi bukan hanya untuk mengantar kepergianmu, tetapi juga untuk menyatukan kehidupan yang terpecah. Lingkaran ini adalah simbol kita semua, hidup yang tak pernah benar-benar berakhir.”
Rampo mulai melantunkan bait pertama, sebuah lirik kuno yang hanya dapat dimengerti oleh mereka yang tahu sastra tinggi. Irama perlahan mengalun, dan para penyanyi mengikutinya. Ketika kata-kata Rampo berhenti, semua suara di lingkaran bergema dengan lantunan vokal panjang: e…e…ee…ee…eee…. Nada itu, meskipun sederhana, mampu menciptakan getaran yang terasa hingga ke sumsum tulang.
Pada momen itu, Aurora Soundcraft memproyeksikan hologram. Sosok-sosok para leluhur yang telah pergi muncul di dalam lingkaran, ikut bernyanyi dalam paduan suara yang menggetarkan hati. Lirik berikutnya, yang disampaikan oleh Rampo, bercerita tentang kehidupan si mati. Dalam bahasa Toraja, dengan tata sastra yang tinggi, mereka mengenang perjalanan hidup yang penuh makna.
Lihat postingan ini di Instagram
“Uai nata kilambiq… Indete bamba ma’dusen…”
“Kami sisa tinggal air mata, di tempat yang duka ini…”
Hologram bergerak seiring irama. Lingkaran issung terus berputar perlahan, bahu terangkat dan turun, kepala bergoyang ke depan dan ke belakang. Setiap langkah kecil yang diambil membawa lingkaran ke arah berbeda, tetapi tidak pernah keluar dari pola gerak kosmisnya.
Ketika lingkaran mencapai akhir lirik pertama, para penyanyi menurunkan nada suara mereka. Semua mata tertuju pada Rampo. Pemimpin itu menyampaikan bait kedua dengan nada suara yang penuh getaran, dan para penyanyi kembali melagukan kata-kata tersebut. Jika Rampo belum selesai merangkai kalimat berikutnya, mereka mengulur waktu dengan nyanyian vokal yang halus, menciptakan alunan yang tak pernah terputus.
Di penghujung ritual, Rampo menutup nyanyian dengan kalimat terakhir, penuh makna:
“Lingkaran hidup tak pernah berakhir. Dalam kepergian, ada penyatuan. Dalam duka, ada keindahan.”
Dengan gerakan terakhir, para penyanyi melakukan nondo pua, melompat ke kiri dan kanan seperti gelombang cahaya yang merayap di antara bintang-bintang. Lingkaran perlahan bubar, tetapi gema nyanyian Ma’badong masih terasa di udara, melintasi malam yang semakin larut.
Di atas sana, satelit bintang buatan mengirimkan cerita ini ke seluruh penjuru jagat raya, membuktikan bahwa meskipun manusia berubah, tradisi yang abadi akan terus melampaui ruang dan waktu.