Di tengah perairan luas yang lebih dominan dibandingkan daratannya, entitas yang disebut Indonesia ini dikenal sebagai negeri maritim. Namun, seperti dua sisi koin, negeri ini juga hidup dari rahmat tanahnya yang subur, membuatnya dikenal pula sebagai negeri agraris.
Kehidupan tropis yang hangat menjadi panggung bagi ragam suku, ras, agama, dan kebudayaan untuk saling bersinggungan, membentuk harmoni sekaligus dinamika di setiap sudut kepulauan.
Di salah satu sudut galaksi budaya ini, terdapat suku Toraja, penghuni pegunungan Sulawesi Selatan. Mereka adalah penjaga tradisi yang telah melampaui zaman, tradisi yang dijaga dengan keyakinan leluhur bernama Aluk Todolo.
Walau banyak dari mereka kini menganut agama Kristen Protestan, warisan kepercayaan lama tetap berdenyut dalam kehidupan mereka, terwujud dalam upacara yang dikenal sebagai rambu solo’. Sebuah prosesi pemakaman yang lebih mirip festival, meriah dan mewah, menjadi penghormatan terakhir bagi mereka yang telah berpulang ke dunia roh.
Rambu solo’ bukan sekadar ritual; ia adalah sebuah narasi, cerita tentang manusia yang kembali kepada asalnya. Prosesi ini diawali dengan ma’badong, sebuah tarian dan nyanyian tanpa iringan alat musik, di mana syair-syair yang berkisah tentang kehidupan mendiang dilantunkan.
Dalam momen ini, alam dan manusia bersatu dalam harmoni, mengirimkan doa dan penghormatan kepada arwah yang melangkah menuju dimensi baru. Para bangsawan tinggi menjadi tokoh utama, karena hanya merekalah yang berhak mendapatkan kisah terbesar—kisah yang tidak hanya dinyanyikan tetapi juga dimadahkan, menjadikan mereka bagian dari deretan leluhur yang dihormati.
Lihat postingan ini di Instagram
Namun, realitas di balik kemegahan ini tidak selalu indah. Ritual semacam rambu solo’ sering kali melibatkan pengorbanan besar, baik secara ekonomi maupun sosial. Masyarakat dari strata rendah sekalipun merasa terdesak untuk melaksanakan ritual ini demi menjaga status sosial atau demi tradisi yang tidak bisa dikesampingkan.
Dalam pandangan luar, ini mungkin tampak seperti paradoks: pengaruh Eropa yang membawa agama baru tidak lantas memadamkan api tradisi asli. Sebaliknya, api itu beradaptasi, menyala dalam bentuk yang baru, mengintegrasikan kepercayaan lama dan baru dalam satu tarian spiritual yang memukau.
Victor Turner, seorang pengamat masyarakat Ndembu di Afrika Tengah, pernah menyebutkan bahwa ritus-ritus seperti ini adalah refleksi dari keyakinan religius sekaligus pengokohan tatanan sosial. Dua jenis ritus utama, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan, ada di hampir semua masyarakat.
Bagi Toraja, rambu solo’ adalah ritus krisis hidup yang mengiringi transisi dari dunia fana menuju keabadian. Ia adalah penegasan relasi sosial, simbol perubahan, dan penghubung antara dunia manusia dengan dunia roh.
Di alam semesta yang penuh cerita ini, ritual seperti rambu solo’ mengajarkan kita satu hal: bahwa warisan leluhur bukanlah sesuatu yang mudah dilepaskan. Mereka bukan sekadar masa lalu, tetapi bagian dari identitas yang melekat dalam jiwa sebuah peradaban.
Suku Toraja, dengan segala keindahan dan kompleksitasnya, adalah pengingat bahwa meskipun manusia bisa berubah mengikuti arus zaman, akar tradisi tetaplah menjadi pusat gravitasi yang mengikat mereka pada asalnya.