Tradisi Sewu Api, Ritual Tahunan Suku Lio untuk Keselamatan Berladang di Ende

Salah satu tradisi budaya penting dalam sistem tata berladang Suku Lio, khususnya Lio bagian Utara Kabupaten Ende, yang hingga kini masih diwarisi, yakni tradisi "nggua sewu api" (upacara memadam api).

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Suku Lio di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, secara konsisten menggelar acara adat tahunan (Nggua) untuk mendukung kelangsungan hidup mereka melalui tradisi berladang.

Acara adat ini berkaitan erat dengan tradisi budaya dan keyakinan masyarakat adat (fai walu ana kalo), serta para pemangku adat (mosalaki), yang mempercayai adanya restu dan bantuan dari leluhur (embu mamo) dalam semua aktivitas pertanian, termasuk kondisi cuaca dan hasil ladang.

Salah satu tradisi yang sangat penting dalam sistem pertanian Suku Lio, khususnya di bagian Utara Kabupaten Ende, adalah ritual “nggua sewu api” (upacara memadam api). Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 30 Desember.

- Advertisement -

“Sewu api” diartikan sebagai upacara untuk memberikan kesejukan (keta ngga) kepada setiap ladang garapan (fai walu ana kalo), setelah sebelumnya melaksanakan ritual “ka mbera” saat membuka lahan baru (gaga poka).

Di samping memberikan kesegaran pada ladang, acara “sewu api” juga berfungsi sebagai perjamuan persekutuan antara para mosalaki dalam wilayah adat (ulayat) dan masyarakat yang berada di bawah tanggung jawab mereka.

Secara struktural dan fungsional, pemangku adat (mosalaki) memiliki kewenangan dan tugas masing-masing berdasarkan hak waris adat, di antaranya Mosalaki Pu’u, Mosalaki Ria Bewa, Mosalaki Rumbi Kumba, Mosalaki Lengi Ae, Mosalaki Dai Mau Engananga, serta atalaki (individu di luar garis waris yang diangkat untuk urusan adat karena memiliki keahlian tertentu).

- Advertisement -

Mengenal Tradisi Sewu Api

Acara adat “sewu api” yang diadakan di tanah ulayat (ulu-eko) di Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro, Kabupaten Ende, melibatkan Tiga Badan Mosalaki: Mosalaki Pu’u, Mosalaki Rumbi Kumba, dan Mosalaki Lengi Ae.

Tradisi ini merupakan warisan dari para leluhur (embu welu mamo moi) yang dianggap sakral hingga saat ini. Upacara ini telah menjadi ritual tahunan yang diorganisir oleh ketiga badan Mosalaki, yang ibaratnya seperti Tiga Batu Tungku (sa Lika) yang selalu bersatu.

Baca Juga :  Kenapa Toraja Begitu Berbeda?

Sesuai dengan ajaran leluhur, ritus adat ini telah menjadi keyakinan bagi para penggarap (fai walu ana kalo) akan dukungan dan restu dari leluhur dalam usaha dan hasil pertanian mereka.

- Advertisement -

Mereka percaya bahwa acara adat ‘sewu api’ ini memiliki nilai budaya yang mendalam dan merupakan bentuk penghormatan terhadap bumi (tana watu). Keyakinan ini mencakup pandangan bahwa leluhur merupakan manifestasi Tuhan yang menguasai langit (Du’a Lulu Wula) dan Tuhan yang menguasai bumi (Ngga’e Wena Tana).

Tata Cara, Ritus Adat dan Makna

Pada intinya, upacara adat ‘sewu api’ terdiri dari beberapa rangkaian ritual penting yang saling berkaitan. Acara tersebut mencakup pemotongan babi (wela wawi), menari tandak (gawi), pemberian makanan kepada leluhur (pati ka embu mamo-tana watu), perjamuan persekutuan (ka sama), serta ritual pemadaman api (sewu api) yang diikuti dengan peringatan dan larangan (sua) yang diberikan oleh Mosalaki Pu’u kepada seluruh penggarap.

Lius, yang tampil dengan penuh wibawa mengenakan pakaian adat lengkap, menyatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan acara ini berkat dukungan dan kerjasama dari semua pihak.

Dukungan dari segenap badan Mosalaki serta kehadiran para penggarap membuat upacara adat ‘sewu api’ benar-benar menjadi perayaan persekutuan yang diwarnai oleh rasa persaudaraan, kekeluargaan, persatuan, gotong royong, dan kasih.

Momen Bersejarah

Mosalaki ‘Rumbi Kumba’ dan Mosalaki ‘Lengi Ae menyatakan komitmen mereka untuk selalu berjalan bersama Mosalaki Pu’u dalam setiap upacara adat. Segala warisan dari para leluhur akan terlaksana dengan restu dari leluhur itu sendiri.

Persatuan, kerjasama, dan gotong royong merupakan kekuatan utama dalam menjaga kelestarian tradisi. Kita akan selalu kuat apabila terus berjalan bersama-sama; “tuke-wake, boka-mbana, kema sa ate, boka ngere ki, bere ngere ae” (saling mendukung, jatuh bangun, satu hati, senasib sepenanggungan).

Baca Juga :  Kambira Baby Graves, Pemakanam Primitif Khusus Bayi Suku-suku Toraja

Pada akhir acara adat, Mosalaki Pu’u melaksanakan ritual “Sewu Api” dengan menuangkan air kelapa muda ke atas bara api (nopo api), yang menjadi simbol berakhirnya musim bakar lahan.

Setelah itu, Mosalaki Pu’u menyampaikan peringatan dan larangan (sua) kepada para penggarap agar tidak membuat api di pekarangan rumah dan tidak menjemur pucuk gebang (‘toru api’ dan ‘wisa wari’) sampai ada pemberitahuan resmi dari Mosalaki.

Ritual ini juga melambangkan kesejukan dan kesegaran bagi bumi serta tanaman-tanaman (pati keta ngga tana watu-mula lua), termasuk harapan untuk mendapatkan curah hujan yang cukup dan kesehatan bagi seluruh penggarap.

Di dalam sebuah wilayah persekutuan, prinsip kerjasama dan saling menghormati adalah hal yang paling penting, seperti pepatah leluhur: ‘boka ngere ki, bere ngere ae’ (jatuh-bangun tetap bersatu seperti ilalang dan air). Adat dan budaya merupakan identitas, keyakinan, serta nilai kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun. Kita harus bangga dengan warisan leluhur tersebut.

- Advertisement -