Mereka ini membawa agama Hindu dan kemudian agama Budha. Kedatangan orang-orang India ke kawasan ini terutama terjadi ketika terjadinya arus angin dari India ke Barus pada bulan November dan Desember.
Pakar sejarah lainnya, Coomalaswamy menulis bahwa Sumatera adalah kawasan yang paling awal menerima pendatang Hindu dan Budha beberapa masa sebelum Masehi.
Selepas itu, sejak abad ketiga M transportasi perdagangan di Kepulauan Nusantara berada di dalam kekuasaan orang-orang Cola dari India ini. Namun kemudian pusat politis mereka di Tamil dikuasai oleh orang Pallava, dan kemudian direbut kembali oleh orang Cola pada abad kesembilan.
Awalnya orang Pallava beragama Budha, namun kemudian masuk menjadi Hindu kembali. Pada tahun 717 M. pendeta Tamil yang bernama Wajabodhi membawa aliran Tantraisme Mahayana Budha ke kawasan Melayu, seperti yang dapat dikaji sejarahnya dari artefak candi di Padang Lawas dan patung Adityawarman di Pagaruyung Minangkabau. Mereka juga membawa aksara palawa.
Selain itu ada juga orang India yang membawa agama Islam ke kawasan ini, terutama dari Malabar yang bermazhab Syafi’i. Lebih lanjut, Luckman Sinar menyatakan bahwa bersama para pedagang India, turut pula para seniman pengukir candi dan pendeta Hindu. Di antara aktivitasnya adalah perkawinan antara orang India pendatang dengan pribumi Sumatera Utara, terutama wanita Batak.
Menurut Hikayat Sianjur Mula-mula, aksara Batak diciptakan dari kawasan ini, namun memiliki kesamaan dengan aksara yang lazim digunakan dalam bahasa Sanskerta. Aksara Batak ini diciptakan oleh Datu Tala Dibabana yang bermarga Borbor.
Lebih jauh pengaruh India di kawasan ini adalah pada nama hari seperti: aditya atau ariria (Toba) juga aditia (Karo); soma, anggara, budalia, brhaspati (boraspati), sampai ke merga-merga Karo seperti Brahmana, Pandia, Meliala, Depari, Pelawi, Colia, Tekang, dan lain-lainnya.
Dari sisi historis ini menunjukkan bahwa orang-orang India, khususnya etnik Tamil, telah melakukan kontak budaya dengan penduduk di Sumatera, khususnya yang menjadi Sumatera Utara sekarang ini. Mereka datang dengan tujuan berdagang, penyebaran agama, dan budaya. Dalam ilmu antropologi proses seperti ini disebut dengan akulturasi.
Pada masa penjajahan Belanda yang terpenting adalah datangnya imigran buruh Tamil ke Residensi Sumatera Timur abad ke-19. Ini digambarkan oleh Luckman Sinar sebagai berikut. Pada tanggal 7 Juli 1863, mendaratlah para pedagang (pengusaha) tembakau dari Jawa yaitu antara lain Kuypers dan Nienhuys.
Mereka mendapat hak konsesi tanah di Martubung dari Sultan Deli yaitu Mahmud Perkasa Alamsyah, untuk menanam tembakau Deli yang kualitasnya baik dan harum baunya sebagai bahan cerutu.
Selepas itu Nienhuys mendapatkan konrak tanah di Tanjung Sepassai dari Sultan Deli untuk jangka waktu 99 tahun. Dalam konteks membangun perusahaan tembakau Deli ini, Nienhuys mendatangkan 88 pekerja beretnik Tionghoa dari Pulaupinang dan penduduk tempatan Melayu.
Pada saat itu diperoleh keuntungan yang relatif besar, sehingga datanglah para investor asing ke Sumatera Timur. Oleh P.W. Janssen-Clemen-Nienhuys serta Cremer dibentuklah maskapai tembakau yang diberi nama N.V. Deli Maatschappij, yang menguasai hampir seluruh tanah perkebunan tembakau di Kesultanan Deli.
Berbal-bal tembakau dibawa dengan perahu yang dikerjakan oleh kuli yang sebahagian besarnya etnik Tamil melalui Sungai Deli dan Sungai Babura dan kedua sungai tersebut bertemu di Kampung Medan Puteri.
Kemudian melapor ke Kantor Besar Deli Mij, dan dari sini dibawa berlayar menyusuri hilir Sungai Deli di Labuhan Deli untuk diekspor dengan tongkang China ke Penang, dan kemudian ke Eropa. Untuk urusan transportasi ini oleh perusahaan dipekerjakan orang-orang Tamil.