Tahap dan Filosofi Mappacci, Budaya Pengantin Bugis-Makassar

Di kalangan suku Bugis, ada prosesi adat yang dilalui calon pengantin menjelang akad/pemberkatan nikah keesokan harinya; yaitu malam pacar.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Filosofi Mappacci. Upacara Mappacci, sebuah bagian integral dalam pernikahan masyarakat Bugis, menggambarkan kemaknaan upacara adat yang kaya akan simbolisme.

Simbol dalam Mappacci memerlukan pemahaman mendalam, seiring dengan tujuannya membersihkan dan menyucikan diri, melambangkan kesucian hati calon pengantin saat mereka memulai perjalanan menuju bahtera rumah tangga.

Mappacci, berasal dari kata “pacci,” merujuk pada daun yang dihaluskan untuk menghias kuku, memiliki makna yang dalam, serupa dengan “paccing,” yang berarti bersih dan suci.

- Advertisement -

Ini mencerminkan persiapan calon pengantin ketika mereka meninggalkan masa gadis dan memasuki bahtera rumah tangga, saat doa menjadi landasan utama. Pantun Bugis yang mencotohkan pentingnya kejujuran (lempu) dan kesucian (paccing) sebagai tiang utama kehidupan.

Mappacci adalah upacara berlandaskan nuansa batin, dilaksanakan pada malam hari. Ia mengajarkan bahwa segala yang baik harus berasal dari niat baik.

Upacara ini melibatkan kerabat dan keluarga untuk memberikan restu kepada kedua mempelai, menciptakan kebahagiaan yang mendalam di tengah ikatan suami-istri dan memohon keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa.

- Advertisement -

Malam pacar disebut juga Tudang Penni dan di dalamnya ada prosesi Mappacci. Prosesi Mappacci telah diwarisi secara turun-menurun dari nenek moyang, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Bugis.

Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging dan tidak terpisahkan dari ritual perkawinan Bugis.

Dalam prosesi Mappacci, pihak keluarga melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti daun pacci (Indonesia = daun pacar/Lawsania Alba adalah sejenis tumbuhan yang pada mulanya hanya digunakan untuk pewarna merah/penghias kuku.

- Advertisement -

Selain itu, ada daun nangka, daun pisang, bantal, gula merah, sarung sutera, lilin, beras, dan lain sebagainya.

Sebelum prosesi, calon pengantin dihias dengan pakaian pengantin khas Bugis. Selanjutnya, diarak duduk di atas kursi (namun ada pula yang duduk di lantai) untuk memulai prosesi.

Baca Juga :  Situs Megalitik Hiligoe, Peninggalan Bangsawan Nias

Di depan calon pengantin, diletakkan sebuah bantal yang sering ditafsirkan dan dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering diidentikkan dengan kepala, yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia.

Diharapkan dengan Filosofi Mappacci ini, calon pengantin lebih mengenal dan memahami akan identitas dirinya, sebagai makhluk yang mulia dan memiliki kehormatan dari Sang Pencipta (Puangnge -Bugis).

Di atas bantal, biasanya diletakkan 7 lembar sarung yang tersusun. 7 lembar diartikan 7 hari seminggu menunjukkan kewajiban, tugas pokok dan fungsi suami isteri harus dijalankan setiap hari.

Dalam bahasa Bugis, kata tujuh erat kaitannya dengan kata patuju/tujui yang artinya benar, berguna, atau manfaat. Sehingga diharapkan agar calon mempelai senantiasa berbuat, melakukan atau mengerjakan sesuatu yang benar, berguna atau bermanfaat.

Selain itu, sarung dianggap sebagai simbol penutup badan bagi masyarakat Bugis. Jadi, diharapkan agar calon mempelai senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa malu (siri’) di tengah-tengah masyarakat. Sarung juga ditafsirkan sebagai sifat ketekunan dan keterampilan.

Di atas sarung, diletakkan daun pisang. Pisang memiliki makna yang mendalam bagi manusia pada umumnya, salah satunya tidak akan mati sebelum muncul tunas yang baru. Hal ini selaras dengan tujuan utama pernikahan, yaitu; melahirkan atau mengembangkan keturunan.

Karakter lain dari pisang, yaitu satu pohon pisang dimungkinkan untuk dinikmati oleh banyak orang. Dengan perkawinan, diharapkan calon pengantin berguna dan membawa manfaat bagi orang banyak.

Daun nangka. Nangka adalah simbol cita-cita, dalam bahasa Bugis disebut ‘panasa’ yang mengandung makna mamminasa, yang memiliki arti tekad dan cita-cita. Selain itu, ada juga gula merah dan kelapa muda. Dalam tradisi masyarakat Bugis, menikmati kelapa muda terasa kurang lengkap tanpa adanya gula merah.

Baca Juga :  Filosofi Rumah Ulu, Rumah Adat Sumatra Selatan yang Tahan Gempa

Seperti itulah kehidupan rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa bersama, untuk saling melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi.

Mappacci juga dilengkapi dengan lilin sebagai simbol penerang. Zaman dahulu, nenek moyang memakai pesse‘ (lampu penerang tradisional yang terbuat dari kotoran lebah). Maksud dari lilin, agar suami-istri mampu menjadi penerang bagi masyarakat di masa yang akan datang, melahirkan keturunan yang berkualitas, seperti halnya lebah yang berkerja sama membuat sarang dan menghasilkan madu yang sangat berkhasiat.

- Advertisement -