Sureq La Galigo I (link sebelumnya): Batara Guru, penguasa pertama bumi, dikenal memiliki beberapa wanita yang dijadikan selir. Setelah sekian lama menunggu, pasangan utamanya, We Nyiliq Timoq, akhirnya turun ke bumi.
Batara Guru, yang begitu merindukan We Nyiliq Timoq, menyambutnya dengan berenang ke arah kursi usungan yang membawanya. Namun, kursi itu tidak langsung menuju pantai, melainkan terombang-ambing di lautan selama sembilan hari sembilan malam.
Melihat kejadian tersebut, Patotoqe, penguasa dunia atas, memerintahkan salah satu abdinya untuk menyerahkan mahar kepada penguasa dunia bawah, Guru Rilëng dan Sinau Toja.
Setelah mahar diterima, kursi yang membawa Batara Guru dan We Nyiliq Timoq akhirnya bergerak ke tepi pantai. Pasangan itu bersama rombongan segera menuju istana Batara Guru, tempat We Nyiliq Timoq tinggal bersama Batara Guru dan para selirnya.
Beberapa waktu kemudian, para selir Batara Guru mulai melahirkan anak. Salah satu selir dari dunia atas, We Saung Ruk, melahirkan seorang putri bernama We Odang Ruk. Sayangnya, We Odang Ruk meninggal dunia tak lama setelah dilahirkan.
Setelah dikubur, makam We Odang Ruk berubah menjadi lembah dan bukit yang ditumbuhi tanaman padi dengan bulir berwarna kuning keemasan. Batara Guru diberitahu bahwa putrinya telah menjelma menjadi tanaman padi, yang akan menjadi sumber makanan bagi manusia. Peristiwa ini menjadi awal mula keberadaan tanaman padi di bumi.
Meskipun para selir telah melahirkan anak, We Nyiliq Timoq belum dikaruniai keturunan. Batara Guru dan We Nyiliq Timoq pun meminta bantuan bissu, tokoh spiritual yang dianggap sakral oleh masyarakat Bugis, untuk menyampaikan permohonan kepada para dewa. Melalui upacara khusus, bissu mendapatkan jawaban bahwa We Nyiliq Timoq akan melahirkan seorang putra yang kelak menguasai wilayah Luwu, tempat pertama kali Batara Guru turun ke bumi.
Tak lama setelah itu, We Nyiliq Timoq hamil. Dalam tujuh bulan, ia melahirkan seorang anak, meskipun proses kelahirannya sulit. Kesulitan tersebut teratasi setelah Batara Guru berbicara kepada anaknya yang masih dalam kandungan, menjanjikan bahwa suatu hari ia akan menjadi raja Luwu. Anak itu lahir dengan selamat dan diberi nama Batara Lattu.
Seiring waktu, Batara Lattu tumbuh dewasa dan mencapai usia yang cukup untuk menikah. Namun, calon istrinya harus berasal dari kalangan yang sederajat, yakni berdarah putih dan suci seperti dirinya. Karena sulit menemukan wanita dengan kriteria tersebut, Batara Guru meminta petunjuk dari ayahnya, Patotoqe, di dunia atas.
Patotoqe mengungkapkan bahwa di Negeri Tompok Tikak, terdapat dua putri berdarah putih yang memenuhi syarat. Mereka adalah We Di Luwu dan We Datu Sengkeng, dua yatim piatu yang merupakan keturunan dari dunia atas dan dunia bawah. Orang tua mereka dahulu turut serta menemani Batara Guru ketika pertama kali turun ke bumi.
Ketika Batara Guru pertama kali turun ke bumi, terdapat dua putri yatim piatu di Negeri Tompok Tikak, yaitu We Datu Sengkeng dan We Di Luwu. Setelah kehilangan kedua orang tua mereka, harta warisan mereka dirampas oleh bibi mereka yang serakah. Akibatnya, kedua putri ini hidup dalam penderitaan, mengembara di hutan belantara tanpa tempat tinggal.
Saat Batara Guru mengetahui kisah kedua putri itu, ia mengutus Batara Lattu untuk meminang salah satu dari mereka. Dengan ditemani beberapa bissu dan saudara sebapaknya, Batara Lattu berlayar menggunakan kapal dari dunia bawah menuju Negeri Tompok Tikak.
Setibanya di sana, kabar kedatangan Batara Lattu tersebar. Seorang utusan dari Peratiwi kemudian menyuruh kedua putri itu kembali ke istana mereka di Tompok Tikak. Namun, ketika Batara Lattu mengajukan pinangan kepada We Datu Sengkeng, putri yang lebih muda, pengasuh mereka menolak pinangan itu dengan alasan kemiskinan dan kondisi istana yang buruk.