Candi Kidal, sebuah pusaka Hindu-Buddha yang bersemayam di Desa Rejokidal, Tumpang, Malang, Jawa Timur, membawa kita dalam perjalanan sejarah yang memesona. Didirikan pada tahun 1248 Masehi, candi ini adalah bentuk penghormatan yang megah untuk Anusapati, Raja kedua Kerajaan Singasari yang memerintah selama dua dekade penuh (1227-1248).
Dengan arsitektur yang menghadirkan keindahan khas Jawa Timuran, Candi Kidal mengagumkan dengan kaki candi yang besar dan tinggi. Tubuh candi yang sedikit menjorok ke belakang memberikan kesan misterius, sementara atap candi terdiri dari tiga tingkat dengan bentuk kubus yang menghiasi puncaknya.
Keistimewaan Candi Kidal terpancar pada relief Garudeya, sebuah karya seni yang mengisahkan mitologi Hindu dengan pesan moral pembebasan dari perbudakan. Cerita yang terpahat indah pada relief ini menjadikannya sebagai inspirasi untuk Batik Garudeya, sebuah warisan budaya asli Malang yang melambangkan keindahan dan makna mendalam.
Relief Garudeya tidak hanya menghiasi dinding candi, tetapi juga menghidupkan kembali cerita mitologi yang kaya makna. Pesan moral pembebasan yang terkandung dalam relief ini menjadi landasan bagi Batik Garudeya, menciptakan sebuah seni tekstil yang tidak hanya memikat mata tetapi juga merangkul warisan budaya dengan penuh kebanggaan.
Dalam keindahan arsitekturnya, Candi Kidal tidak hanya menjadi simbol penghormatan kepada seorang raja, tetapi juga sebuah persembahan seni yang abadi, menantang kita untuk menjelajahi makna di balik pahatan batu dan kisah-kisah yang terukir di dindingnya. Candi Kidal, tempat suci yang mengundang kekaguman, terus mempesona dengan warisan sejarahnya yang tak ternilai.
Kesejajaran Mitos dan Sejarah di Tanah Jawa Timur
Candi Kidal, dengan keanggunan arsitekturnya, muncul sebagai saksi bisu peradaban di Jawa Timur, menjadi simbol pemujaan tertua dalam sejarah kawasan ini. Dibangun sekitar tahun 1248 Masehi, candi ini dikenal sebagai tempat pendharmaan Raja Anusapati dari Kerajaan Singasari yang berakar dalam kepercayaan Hindu.
Seiring berjalannya waktu, mitos dan sejarah menyatu dalam narasi kehidupan Raja Anusapati, yang memiliki dua versi yang kontras. Menurut Pararaton, Anusapati (1247-1249) tercatat sebagai pembunuh Ken Arok, penguasa Tumapel.
Setelah mengambil alih kekuasaan, Ken Arok menikahi Ken Dedes yang tengah hamil. Anak Ken Dedes dan Tunggul Ametung, Anusapati, kemudian menjadi penguasa Singasari. Namun, nasib tragis menyertai Anusapati, dan menurut Pararaton, ia wafat pada tahun 1248 M, didharmakan di Candi Kidal sebagai Siwa.
Sementara itu, Kitab Negarakertagama merinci Anusapati (1227-1248) sebagai putra Rangga Rajasa Sang Girinathaputra, pendiri Kerajaan Singasari. Berbeda dengan versi Pararaton, Anusapati diidentifikasi sebagai Ken Arok. Negarakertagama mencatat kepemimpinan Anusapati selama 20 tahun, dari 1227 hingga 1248 M, tanpa menyebutkan nama Tohjaya sebagai pembunuhnya.
Perbedaan interpretasi antara dua kitab ini menambah misteri di balik kehidupan Anusapati dan pemerintahan Singasari. Candi Kidal, sebagai saksi sejarah, menghadirkan nuansa mistis dengan relief-reliefnya yang mempesona.
Keunikan arsitektur candi mencerminkan perpaduan corak Jawa Tengah dan Jawa Timur, menunjukkan pentingnya tempat ini dalam menjembatani peralihan pemerintahan dari satu kerajaan ke kerajaan lainnya.
Kisah Anusapati, yang mungkin terdapat benang merah di antara mitos dan sejarah, menciptakan lapisan yang lebih dalam dalam warisan budaya Jawa. Candi Kidal, melalui keindahannya, mengajak kita untuk merenung tentang perjalanan waktu, kebijaksanaan penguasa, dan keunikan mitologi yang masih merayap di relung-relung sejarah Jawa Timur. Sebuah perjalanan eksplorasi yang membangkitkan kekaguman terhadap keajaiban dan keanehan masa lalu yang tak terlupakan.