Terletak di desa Lemo, Istana Raja Kulawi yang terakhir berdiri menyimpan sejarah penting bagi budaya lokal meskipun tidak lagi berwujud istana tradisional sepenuhnya. Dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda, istana ini memperlihatkan perpaduan antara konstruksi tradisional dan modern, mencerminkan perubahan zaman dan pengaruh luar yang masuk ke wilayah Sulawesi.
Istana para Raja Kulawi biasanya dibangun dengan pekarangan luas di tengah perkampungan. Namun, kini tidak lagi ditemukan bentuk aslinya. Satu-satunya yang tersisa adalah istana di desa Lemo, hasil inisiatif pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Meski demikian, struktur bangunan ini masih mempertahankan beberapa elemen tradisional, menandakan adaptasi masyarakat lokal terhadap perubahan material dan teknik bangunan.
Material yang digunakan pada istana ini, seperti atap seng dan tiang beton, menandakan pengaruh kolonial yang signifikan. Ventilasi dengan gaya barat dan ketiadaan ukiran kayu pada interior mencerminkan proses modernisasi yang terjadi.
Lihat postingan ini di Instagram
Meskipun tampak sederhana, istana ini memiliki makna historis dan budaya yang mendalam jika dibandingkan dengan istana di Jawa atau Sumatera yang lebih megah.
Detail arsitektur layaknya tangga beton dengan cerek untuk membersihkan kaki tamu, memperlihatkan integrasi fungsi praktis ke dalam desain bangunan. Di belakang istana, terdapat lampoa atau tempat penyimpanan barang, menunjukkan kemiripan dengan rumah penduduk biasa. Ini berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun rajanya, lingkungan tetap bersifat komunal.
Istana Raja Kulawi lebih berfokus pada fungsi daripada kemegahan, mencerminkan kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat setempat.
Walaupun tidak seindah atau megah istana-istana di daerah lain, Istana Raja Kulawi menawarkan pandangan unik ke dalam adaptasi budaya dan sejarah lokal. Penyederhanaan arsitektur merupakan cermin dari realitas dan pengaruh zaman, tetapi tetap mempertahankan nilai penting dalam konteks budaya Sulawesi.
