Filosofi Rumah Krong Bade. Krong Bade, juga dikenal sebagai Rumoh Aceh, merupakan rumah tradisional khas Aceh. Rumah ini berbentuk panggung dengan ketinggian sekitar 2,5 – 3 meter dari permukaan tanah, dengan tiang penyangga yang terbuat dari kayu.
Dinding dan lantainya menggunakan papan, sedangkan alasnya menggunakan bambu atau trieng. Atapnya dibuat dari anyaman daun rumbia atau enau.
Untuk mengikat bagian-bagian bangunan, biasanya digunakan Taloe meu-ikat, rotan, ijuk, dan kulit pohon waru. Rumah Krong Bade ini dilengkapi dengan tangga yang memiliki jumlah anak tangga ganjil.
Sejarah Rumah adat Krong Bade
Sebagai wilayah Indonesia yang paling banyak disinggahi oleh para pedagang dari mancanegara pada masa lalu, struktur rumah adat Aceh tidak lepas dari pengaruh budaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Persia dan Gujarat ratusan tahun lalu.
Pada masa itu, banyak pedagang yang secara tidak langsung menyebarkan agama Islam di tanah Aceh hingga banyak dari masyarakatnya yang memeluk agama Islam. Salah satu buktinya bisa dilihat dengan adanya tempat shalat atau mushala pribadi di hampir setiap rumah.
Banyaknya kain-kain putih di mushala rumah adat khas Aceh pribadi dari pemiliknya punya makna kesucian. Hal ini dimakaksudkan agar siapapun yang memasuki ruangan tersebut harus dalam keadaan bersih atau suci.
Bagian Penting Rumah Krong Bade
Rumah khas Aceh dibangun dari bahan kayu dengan atap berbahan daun rumbia. Biasanya, ruang di dalam rumah terbagi menjadi tiga hingga lima ruangan, dengan satu ruangan utama yang disebut rambat.
Rumah adat krong bade dibagi menjadi tiga bagian atau biasanya masyarakat Aceh menyebutnya dengan “Seuramoe” atau serambi yang memiliki fungsi yang berbeda-beda.
- Seuramoe Keue atau Serambi Depan merupakan area untuk menerima tamu dan tempat santai bersosialisasi.
- Seuramoe Tengah atau Serambi Tengah terdiri dari kamar-kamar tidur untuk berkumpulnya seluruh penghuni rumah serta menyediakan tempat mandi jenazah jika ada anggota keluarga yang meninggal.
- Seuramoe Likot atau Serambi Belakang meliputi dapur, ruang makan, dan area santai. Berbeda dengan Serambi Tengah, tidak terdapat kamar-kamar tidur dan lantainya lebih rendah.
- Bagian bawah rumah berfungsi sebagai gudang penyimpanan, tempat untuk menyimpan hasil panen dan alat penumbuk padi. Ini juga menjadi pusat aktivitas perempuan dalam pembuatan kain khas Aceh, dengan penjualan dilakukan di sana.
Rumah adat Aceh, Krong Bade, dibangun tanpa menggunakan paku, melainkan dengan menggunakan tali pengikat yang terbuat dari rotan, tali ijuk, dan kulit pohon waru, sesuai dengan filosofi kehidupan yang harmonis dengan alam.
Selain itu, Krong Bade juga terkenal sebagai rumah anti gempa karena strukturnya yang fleksibel. Teknik sambungan pengikat yang digunakan membuat rumah ini lebih aman dari guncangan gempa, menjadi perlindungan bagi penduduk Aceh dari ancaman bencana alam.
Filosofi Rumah Adat Krong Bade Krong Bade
Rumah adat Aceh dikenal dengan sebutan Rumoh Aceh.
- Rumoh Aceh dibangun dengan model rumah panggung, menjadikannya tinggi dari tanah. Tangga ganjil diperlukan untuk mencapai rumah panggung, sesuai kepercayaan lokal. Tingginya struktur ini mengurangi kelembaban di dalam rumah, memungkinkan sirkulasi udara melalui kolong-kolong, yang menjaga makanan agar tidak cepat rusak.
- Setiap rumah memiliki ukiran atau ornamen, mencerminkan status sosial. Semakin rumit dan banyaknya ukiran atau ornamen pada rumah menandakan status ekonomi yang berada bagi pemiliknya. Sebaliknya, rumah yang tidak dihiasi dengan ukiran menunjukkan bahwa pemiliknya berasal dari kalangan biasa atau kurang mampu. Ukiran ini tersebar di bagian dinding, pintu, jendela, dan bagian lain rumah. Selain itu, ukiran ini sering dicat dengan warna kontras, seperti kuning keemasan, yang dipadukan dengan garis tipis merah terang sebagai pembatas. Warna-warna ini melambangkan kesejahteraan hidup dan martabat seseorang.
- Pintu-pintu Rumoh Aceh sengaja dibuat pendek, memaksa pengunjung untuk menundukkan kepala saat masuk. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap pemilik rumah dan mengajarkan rasa saling menghormati di antara masyarakat, tanpa memandang kasta.
- Tangga pada rumah adat Aceh selalu memiliki jumlah anak tangga ganjil, seperti tujuh hingga sembilan anak tangga. Tangga dengan tinggi sekitar 2,5 – 3 meter pada bagian depan rumah berfungsi sebagai akses masuk ke dalam rumah. Penggunaan jumlah anak tangga yang ganjil ini bukan hanya sekadar kebetulan, melainkan sebuah simbol yang mencerminkan sifat religius masyarakat suku Aceh.
- Umumnya, di depan rumah Aceh terdapat gentong air yang berfungsi sebagai tempat untuk membersihkan kaki sebelum memasuki rumah. Hal ini menjadi simbol bahwa setiap tamu yang berkunjung diharapkan memiliki niat baik dan bersih dalam hati.
- Rumah ini sengaja dirancang memanjang dari timur ke barat, membentuk persegi panjang, dengan tujuan untuk memudahkan penentuan arah kiblat saat melakukan sholat.