Taripang adalah salah satu kue tradisional dari Sulawesi Selatan yang dikenal karena rasanya yang manis dan gurih. Kue ini populer di kalangan masyarakat Bugis dan memiliki tekstur renyah berkat lapisan gula merah yang mengering di bagian luar.
Sementara itu, bagian dalamnya berserat dan kenyal karena terbuat dari campuran tepung beras ketan dan kelapa parut.
Meskipun merupakan kue tradisional, taripang sering dijual di warung dan kafe, menarik minat masyarakat karena cita rasanya yang unik. Lalu, bagaimana sejarah dan filosofi di balik kue ini? Berikut adalah penjelasannya.
Asal-Usul Kue Taripang
Kue taripang mulai dikenal masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-15 dan sering dihidangkan dalam acara pernikahan. Firman Saleh, seorang budayawan Bugis-Makassar dari Universitas Hasanuddin yang dikutip dari detikcom, menyatakan bahwa kue ini pertama kali muncul di wilayah pesisir Sulawesi yang dulu dikenal sebagai Celebes.
Daerah-daerah seperti Makassar, Ajatappareng, Sidrap, Pinrang, Parepare, dan Barru merupakan tempat di mana taripang dikenal dengan nama sawella.
Ia menjelaskan bahwa nama “taripang” terinspirasi dari hewan laut bernama teripang. Kue ini dibuat menyerupai bentuk hewan tersebut, sehingga diberi nama taripang. Menurutnya, bahan dasar kue ini meliputi tepung beras ketan, kelapa, dan gula merah, yang menciptakan cita rasa khas.
Filosofi Kue Taripang
Bahan utama taripang, yaitu tepung beras ketan, memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Beras dianggap sebagai simbol kehidupan dan menjadi bahan pokok dalam banyak kue tradisional di daerah tersebut. Filosofi ini sangat melekat pada masyarakat lokal, yang melihat beras sebagai sumber kehidupan.
View this post on Instagram
Selain beras, kelapa yang digunakan dalam pembuatan kue ini juga memiliki filosofi khusus. Kelapa dianggap sebagai lambang kenikmatan, menambah cita rasa pada taripang. Masyarakat Bugis percaya bahwa segala makanan yang dicampur dengan kelapa akan menjadi lebih lezat.
Setelah digoreng, taripang dibalut dengan lelehan gula merah. Gula dalam tradisi Bugis-Makassar melambangkan kekuatan. Kombinasi antara tepung beras ketan, kelapa, dan gula merah menciptakan simbol kehidupan, kenikmatan, dan kekuatan, yang membuat kue ini begitu bermakna bagi masyarakat.
Taripang dalam Tradisi Pernikahan dan Akikah
Kue taripang dulu hanya disajikan dalam acara pernikahan dan menjadi salah satu hantaran dari mempelai pria kepada mempelai wanita atau sebaliknya. Selain dalam acara pernikahan, kue ini juga kerap disajikan dalam upacara akikah. Dalam tradisi ini, taripang biasanya disajikan di atas baki atau wajan sebagai bagian dari hidangan upacara.
Pada masa lampau, sebelum agama Islam masuk ke wilayah Bugis-Makassar, taripang juga digunakan sebagai sesajen dalam ritual anre-anre dewata, di mana makanan disajikan untuk dewa-dewa. Kue ini disusun di atas piring dan diletakkan di baki sebagai bentuk persembahan dalam ritual keagamaan tersebut.
Dengan sejarah dan filosofi yang kaya, taripang tetap menjadi bagian penting dari kebudayaan Bugis-Makassar, tidak hanya sebagai kue, tetapi juga sebagai simbol kehidupan, kenikmatan, dan kekuatan. Kue ini masih sering disajikan dalam berbagai acara adat, menjadikannya warisan kuliner yang terus bertahan di tengah arus modernisasi.