Di sebuah dapur kayu di pinggiran Sungai Sambas, aroma daun kesum perlahan memenuhi udara. Di tungku tanah liat, periuk besar mengepulkan uap hangat. Bunyi kayu bakar yang berderak seolah berpadu dengan desau angin dari jendela bambu.
Di dalam periuk itu, beras sangrai, kelapa parut, dan puluhan sayuran hutan berpadu menjadi satu — menciptakan harmoni rasa yang telah diwariskan turun-temurun. Inilah bubor paddas, warisan kuliner dari masyarakat Melayu Sambas yang menyimpan cerita panjang tentang kerajaan, perjuangan, dan kebersamaan.
Lebih dari Sekadar Bubur
Sekilas, bubor paddas tampak seperti bubur sayur biasa. Namun bagi masyarakat Sambas, setiap sendokannya adalah pertemuan rasa antara darat dan sungai, antara sejarah dan kehidupan sehari-hari.
Warna buburnya lebih gelap dari bubur pada umumnya, berpadu dengan aroma wangi daun kesum dan kelapa sangrai yang khas. Rasanya gurih, sedikit pedas, dan kaya rempah, tetapi bukan pedas yang membakar lidah — melainkan hangat dan menenangkan.
Kata paddas sering disalahartikan sebagai “pedas”. Padahal, dalam bahasa Melayu Sambas, paddas berasal dari kata Sanskerta paddasa, yang berarti sayuran. Maka, bubor paddas sejatinya bermakna “bubur dengan beragam sayuran”.
Rasa pedas yang lembut berasal dari lada dan daun kesum, tanaman harum yang tumbuh liar di tepian sungai dan halaman rumah masyarakat Kalimantan.
Jejak Istana dan Kisah Daun Kesum
Konon, kisah bubor paddas bermula di istana Kesultanan Sambas. Diceritakan, seorang raja jatuh sakit dan kehilangan selera makan. Sang juru masak yang khawatir kemudian menciptakan hidangan sederhana dari beras, sayur-mayur, dan daun harum yang tumbuh di pekarangan istana.
Saat sang raja mencicipinya, ia merasakan sensasi segar dan wangi yang menenangkan. “Daun apakah ini?” tanya sang raja. Sang juru masak menjawab lirih, “Patik tidak tahu, Tuanku. Patik menemukannya di halaman.”
Sang raja pun menamai daun itu kesum, diambil dari nama sang juru masak. Sejak saat itu, daun kesum menjadi bahan wajib dalam setiap bubor paddas — simbol dari perhatian, keikhlasan, dan kasih dalam setiap masakan.
Dari Dapur Istana ke Dapur Rakyat
Namun, waktu mengubah segalanya. Ketika peperangan melanda negeri Sambas dan rakyat harus bertahan di tengah keterbatasan bahan pangan, bubor paddas keluar dari dapur istana menuju dapur rakyat.
Rakyat menggantikan daging mahal dengan sayuran hutan, mengganti rempah langka dengan daun liar, dan menanak beras dalam jumlah sedikit agar bisa dibagi rata.
Periuk besar bubor paddas dimasak di tengah kampung, dikelilingi suara anak-anak dan denting sendok kayu. Setiap orang menyumbangkan bahan — segenggam beras, daun pakis, atau setangkai kangkung. Dari periuk itu, mereka makan bersama; dari bubur itu pula, mereka belajar bertahan.
Bagi masyarakat Sambas, bubor paddas bukan hanya makanan, tapi lambang gotong royong. Ia adalah makanan perang yang menguatkan, sekaligus makanan damai yang menyatukan.
Rasa yang Menyatukan Generasi
Kini, aroma bubor paddas masih sering tercium di bulan Ramadan, di hajatan keluarga, atau di pasar tradisional Sambas. Namun, beberapa sayur yang dahulu mudah didapat di hutan kini mulai langka.
Banyak bahan yang dulu tumbuh liar — seperti daun kesum, rebung muda, dan pakis hutan — kini sulit ditemukan. Resep aslinya mulai bergeser menyesuaikan zaman, namun maknanya tetap sama: menghormati alam dan mensyukuri keberkahan bumi.
Di dapur-dapur modern, bubor paddas kini dimasak di atas kompor gas, bukan tungku tanah. Tetapi setiap kali sendok kayu mengaduk bubur dalam periuk, setiap kali uap panas membawa aroma kesum ke udara, seolah waktu berputar kembali ke masa lalu — ke istana, ke hutan, ke ladang, ke titik di mana rasa menjadi ingatan.
Simbol Identitas dan Ekologi Kuliner
Lebih dari sekadar warisan budaya, bubor paddas juga mencerminkan ekologi masyarakat pesisir dan pedalaman Kalimantan Barat. Ia memanfaatkan hasil alam lokal tanpa limbah, dan selalu menyesuaikan dengan musim. Saat musim hujan, masyarakat menambahkan pakis muda dan labu siam. Di musim kemarau, mereka menggantinya dengan ubi dan jagung manis.
Bagi peneliti kuliner, bubor paddas adalah contoh nyata bagaimana makanan menjadi cermin hubungan manusia dengan lingkungannya. Bagi masyarakat Sambas, ia adalah kenangan, doa, dan rasa syukur yang dihidangkan di atas piring.
Aroma dari Tanah dan Air
Menjelang senja, di tepi Sungai Sambas, seorang ibu tua terlihat mengaduk periuk besar. Asap tipis naik perlahan, bercampur aroma daun kesum yang wangi. Anak-anak berlarian sambil menunggu giliran menyantap bubor paddas hangat.
Suara serangga di kejauhan, percikan air sungai, dan cahaya jingga sore berpadu menjadi satu suasana yang sulit dilupakan.
Di tanah Sambas, setiap mangkuk bubor paddas bukan sekadar santapan — ia adalah kisah yang terus dimasak ulang oleh waktu: kisah tentang alam, sejarah, dan manusia yang tahu cara bertahan dengan rasa.


