Di pagi yang lembap di tepi Sungai Martapura, aroma kelapa parut dan gula merah menyeruak dari balik kukusan bambu. Di antara deretan jajanan pasar yang tersusun rapi di atas daun pisang, ada satu kue mungil berwarna hijau yang seolah memanggil mata—kue gegicak, manisan tradisional dari Banjar, Kalimantan Selatan, yang kini juga banyak dijumpai di Kalimantan Timur.
Masyarakat Banjar mengenal kue ini sebagai camilan sehari-hari sekaligus bagian dari tradisi kuliner yang lebih luas: sajian khas dalam baimbai (acara kebersamaan keluarga), perayaan adat, hingga kudapan buka puasa di bulan Ramadan. Kue gegicak, dalam keheningan dapur rumah panggung, menjadi simbol kehangatan, kesederhanaan, dan kebersamaan.
Dari Daun Suji ke Daun Pisang
Kue gegicak dibuat dari bahan sederhana—tepung ketan putih, air daun pandan atau daun suji sebagai pewarna alami, kelapa parut, dan gula merah. Namun, di balik kesederhanaannya tersimpan teknik yang diwariskan turun-temurun. Adonan tepung ketan diuleni hingga kenyal, dikukus di atas panci bambu, lalu disajikan di atas daun pisang muda yang masih harum.
Warna hijau kue berasal dari sari daun suji, yang dalam budaya Banjar melambangkan kesegaran dan keaslian alam. Teksturnya lembut, agak lengket di jari, dan berpadu sempurna dengan taburan kelapa parut yang gurih. Gula merah cair kental disiramkan perlahan saat disajikan—memberi rasa manis yang tidak menohok, tapi meresap halus ke lidah.
Mirip Klepon, Tapi Bukan Klepon
Bagi lidah Jawa, gegicak bisa terasa akrab. Sekilas memang mirip dengan klepon, jajanan manis dari Jawa Timur yang juga terbuat dari tepung ketan dan berisi gula merah. Namun, ada perbedaan mendasar: klepon direbus, sedangkan gegicak dikukus. Klepon menyimpan gula merah di dalam adonannya, sementara gegicak menyajikannya di luar, dalam bentuk saus gula yang kental.
Menurut catatan kuliner lokal, perbedaan ini mencerminkan karakter masyarakat pembuatnya: orang Banjar lebih menyukai rasa yang “terlihat” dan tidak disembunyikan, bahkan dalam makanan. Filosofi ini disebut terbuka seperti sungai, yakni menampilkan keindahan apa adanya, sebagaimana arus Sungai Barito dan Martapura yang selalu jernih di mata warga.
Jejak Kuliner Sungai

Secara historis, jajanan seperti gegicak berkembang pesat di tepian sungai karena ketersediaan bahan baku lokal: kelapa tumbuh subur di sepanjang pesisir Kalimantan Selatan, sementara daun pandan dan daun suji mudah didapat di kebun rumah.
Proses memasak dengan dikukus pun erat kaitannya dengan rumah Banjar tradisional yang bertiang tinggi dan selalu memiliki dapur dengan tungku kayu serta wadah kukusan besar (kukusan sanga).
Kini, di pasar-pasar tradisional seperti Pasar Terapung Lok Baintan atau Pasar Sentra Antasari di Banjarmasin, kue gegicak tetap setia menempati sudut meja para penjual. Di pagi hari, para pembeli menyeruput teh manis panas sambil menggigit gegicak mungil—sensasi manis-gurih yang mengikat mereka pada kenangan masa kecil dan aroma dapur nenek.
Dari Banjar ke Nusantara
Popularitas gegicak kini mulai menyeberang ke kota-kota besar di Kalimantan Timur seperti Samarinda dan Balikpapan. Beberapa toko kue lokal bahkan mencoba inovasi baru: mengganti gula merah dengan saus karamel atau menambahkan wijen sangrai di atas kelapa parut. Namun bagi orang Banjar sejati, gegicak tetap yang klasik—hijau lembut, manis alami, dan disajikan di atas daun pisang hangat.
Lebih dari sekadar camilan, kue gegicak adalah potret dari hubungan antara manusia dan alam di Kalimantan: bahan-bahannya berasal dari tanah, pohon, dan sungai; cara membuatnya diwariskan lewat tangan, bukan buku; dan maknanya hidup dalam setiap pertemuan keluarga di rumah panggung di tepi air.


