Pakkandeang, Warisan Rasa dari Tanah Mandar

Jika Anda berkunjung ke Polewali Mandar di musim durian, jangan hanya cari buahnya. Datanglah ke dapur-dapur sederhana di Peburru. Minta segenggam Pakkandeang, dan biarkan lidah Anda menelusuri jejak rasa yang telah bertahan puluhan tahun—sebuah rasa yang lahir dari tanah, dari sejarah, dan dari cinta pada kehidupan yang sederhana namun penuh makna.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Kabut pagi perlahan naik dari lembah-lembah hijau Polewali Mandar. Di antara pohon durian yang tumbuh rimbun, aroma tanah basah bercampur wangi rempah dan kayu bakar. Suara denting sendok dan wajan terdengar dari dapur-dapur kayu di Desa Peburru, Kecamatan Tubbi Taramanu.

Di sanalah Pakkandeang—hidangan durian mentah khas Mandar—lahir dan terus bertahan, menjadi penanda musim dan kenangan bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam.

Ketika buah durian mulai berguguran dari cabangnya, masyarakat Mandar tahu satu hal: waktunya memasak Pakkandeang. Tidak ada perayaan yang lebih sederhana dan hangat selain duduk bersama keluarga, menikmati aroma durian mentah yang ditumis dengan rempah, sambil mendengar kisah lama yang diwariskan dari generasi ke generasi.

- Advertisement -

Jejak dari Masa Sulit

Mudu, seorang tetua desa yang rambutnya sudah memutih, mengingat masa ketika makanan sulit didapat. “Dulu itu banyak durian, tapi makanan susah,” tuturnya sambil menatap ke arah kebun. “Durian mentah kami ambil, direbus, dikasih garam dan bumbu sederhana. Lama-lama, orang mulai menumisnya dengan rempah. Dari situ lahirlah Pakkandeang.”

Cerita itu kini menjadi bagian dari sejarah kuliner Mandar. Di masa lalu, Pakkandeang adalah simbol ketahanan—bukti bagaimana masyarakat mampu mencipta rasa dari keterbatasan. Tapi seiring waktu, ia tumbuh menjadi simbol identitas.

Kini, setiap kali durian kembali berbuah, masyarakat Peburru seolah menjemput tradisi lama yang tak pernah pudar. “Kalau musim durian tiba, warga tidak pernah lupa membuat Pakkandeang,” ujar Hasbi, seorang warga setempat. “Rasanya enak, rasa duriannya tetap terasa, tapi pedas, asin, dan gurih bercampur jadi satu.”

- Advertisement -

Durian Mentah dan Rahasia Rasa

Sekilas, Pakkandeang tampak sederhana. Bumbu-bumbunya mudah ditemukan di dapur: bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, merica, dan garam. Semuanya ditumbuk halus, ditumis dengan sedikit minyak hingga harum, lalu daging durian mentah dimasukkan. Tidak butuh waktu lama hingga warna durian berubah keemasan dan teksturnya menyerupai daging kelapa muda.

Baca Juga :  Sate Languan: Rasa Laut, Jiwa Bali

Namun, di balik kesederhanaan itu tersembunyi harmoni yang kaya. Pedas dari cabai, asin dari garam, dan aroma khas durian berpadu menciptakan sensasi unik di lidah. Pakkandeang bukan sekadar makanan, melainkan pengalaman—pertemuan antara rasa dan cerita.

Bagi masyarakat Mandar, hidangan ini tidak hanya hadir di meja makan harian, tetapi juga di momen-momen penting. Ia disajikan ketika tamu datang, saat acara keluarga, bahkan menjadi simbol sambutan hangat bagi siapa pun yang singgah di desa.

- Advertisement -

Mandar, Tanah Durian dan Tradisi

Kabupaten Polewali Mandar dikenal sebagai salah satu penghasil durian terbaik di Sulawesi Barat. Varietas lokal seperti durian Kanang tumbuh di lereng-lereng perbukitan dengan rasa manis legit dan aroma tajam yang khas. Saat musim tiba, pedagang menjajakan buah di pinggir jalan Trans-Sulbar, menawarkan harga mulai dari Rp15.000 per buah—suasana yang membuat siapa pun sulit menolak untuk berhenti sejenak dan mencicipinya.

Durian bagi masyarakat Mandar bukan hanya buah, tapi bagian dari siklus hidup. Dari buah matang yang disantap segar hingga durian mentah yang diolah menjadi Pakkandeang, semuanya menggambarkan cara hidup yang berpihak pada alam—mengambil seperlunya, mengolah sebaiknya.

Dalam laporan Pemerintah Daerah Sulawesi Barat, durian menjadi salah satu komoditas unggulan daerah. Namun di balik angka produksi dan perdagangan, tersembunyi nilai budaya yang jauh lebih besar: kemampuan masyarakat menjaga hubungan harmonis dengan tanah yang memberi mereka kehidupan dan rasa.

Warisan Rasa dan Identitas

Setiap sendok Pakkandeang membawa kisah panjang: tentang kelaparan di masa lalu, tentang kreativitas yang lahir dari keterbatasan, dan tentang kebersamaan yang selalu dirayakan di sekitar meja makan.

Hidangan ini adalah bentuk narasi kuliner: bagaimana masyarakat memaknai bahan lokal bukan sekadar untuk bertahan hidup, tapi untuk meneguhkan jati diri. Ia menegaskan bahwa cita rasa tidak selalu lahir dari kemewahan bahan, melainkan dari kebijaksanaan memanfaatkan alam.

Baca Juga :  Makna Filosofis 7 Kue Khas Tradisonal dalam Acara Pernikahan Bugis-Makassar

Dalam konteks yang lebih luas, Pakkandeang juga menjadi peluang untuk mengangkat pariwisata kuliner Mandar. Festival durian di Polman, misalnya, bisa menjadi ruang untuk memperkenalkan hidangan ini kepada wisatawan. Melalui pelatihan dan dokumentasi, generasi muda dapat terus menjaga keberlanjutan warisan ini—agar tidak lenyap bersama waktu.

Jejak di Dapur Mandar

Menjelang sore, aroma tumisan kembali memenuhi udara Desa Peburru. Di dapur berdinding bambu, seorang ibu muda menumis durian mentah dengan sabar, sementara anak-anaknya menunggu di ruang depan. Di luar, matahari perlahan turun di balik bukit, memantulkan cahaya keemasan di atas pohon durian yang menjulang tinggi.

Di momen seperti inilah Pakkandeang menemukan maknanya yang sejati—bukan hanya sebagai santapan, tetapi sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara alam dan manusia.