Filosofi Kue Apem dan Nilai Budaya Didalamnya

Kue apam atau apem adalah salah satu kue tradisional yang masih dipertahankan hingga saat ini dan masih sering disajikan di berbagai acara.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Selain untuk bersedekah, khanduri apam juga memiliki nilai mengenang orang meninggal. Dengan ber khanduri untuk mayit, supaya diampuni segala dosa-dosanya. Sayangnya, tradisi khanduri apam ketika ada yang meninggal dunia sudah jarang dilakukan.

Menurut penuturan orang-orang tua, asal mula dari tradisi khanduri apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam.

- Advertisement -

Saking miskinnya, hingga tidak ada sebiji kurma pun yang disedekahkan untuk kenduri selamatan atas kematiannya. Apalagi hidupnya yang sebatangkara, membuat masyarakat di sekitarnya merasa iba. Sehingga mereka memasak apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet apam (memasak apam); yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.

Tradisi Kedurai Apam atau Muang Apem di Kabupaten Lebong

Kedurai dalam Bahasa Indonesia artinya kenduri, sedangkan apam penamaan dari kue. Kedurai apam merupakan upacara tolak bala yang bersifat ritual di Desa Bungin Kecamatan Bingin Kuning, Kabupaten Lebong.

Warga setempat juga menyebut tradisi ini dengan istilah “muang apem”. Sesajen dari tradisi Kedurai Apam biasanya dilaksanakan pada tanggal 1 Muharram. Upacara ini telah dilakukan sejak ratusan tahun silam, sebagai bentuk tolak bala dari berbagai macam musibah yang mengancam keselamatan warga setempat.

- Advertisement -
Budaya Kue Apem
Salah satu Budaya Kue Apem di Bengkulu

Dilansir dari gobengkulu.com (28/10/2018) tradisi Kedurai Apam merupakan ritual adat yang dipercaya untuk mengenang tenggelamnya Desa Trasmambang, asal dari nenek moyang masyarakat dari beberapa desa yakni, Desa Semelako, Bungin, Pungguk Pedaro, dan Karang Dapo.

Warga empat desa tersebut membawa kue apam yang dimasak dari rumah, kemudian dikumpulkan di lokasi tepatnya di bawah pohon beringin kuning di daerah Pasir Lebar atau lebih dikenal daerah Sabo di Desa Bungin, Kecamatan Bingin Kuning, Kabupaten Lebong, kemudian dilakukan semacam ritual terhadap kue apam tersebut.

Baca Juga :  Nasi Kropokhan, Makanan Kesukaan Raja Demak yang Mulai Dilupakan

Setelah kuenya diritual oleh juru kunci, kue tersebut kembali direbut oleh masyarakat kemudian melakukan aksi lempar-lemparan dengan kue apem tersebut.

- Advertisement -

Ngapem, Tradisi Tolak Bala Masyarakat Cirebon

Ngapem, Tradisi Tolak Bala Masyarakat Cirebon
Ngapem, Tradisi Tolak Bala Masyarakat Cirebon

Tradisi Ngapem merupakan sebuah tradisi yang rutin dilakukan oleh masyarakat di Cirebon setiap bulan Safar. Keraton yang ada di Cirebon, baik Kasepuhan, Kanoman, Kaprabonan dan Kacirebonan juga membuat apem pada bulan Safar tersebut.

Tradisi Ngapem ini telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Tepatnya sejak masa Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Secara garis besar, tradisi Ngapem di Cirebon merupakan tradisi untuk mengharapkan keselamatan kepada Tuhan agar terhindar dari mara bahaya dengan cara bersedekah. Sebab, dalam kepercayaan tradisional orang Arab dahulu, bulan Safar adalah bulan bencana. Pembuatan apem juga dijadikan ajang saling minta maaf antartetangga, sehingga untuk menolak bala perlu usaha saling maaf memaafkan antar sesama.

Tradisi Meminta Maaf di Jawa Tengah Sambut Ramadhan

Nyadran atau Sadranan adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada bulan Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender Jawa) untuk mengucapkan rasa syukur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang ada di suatu kelurahan atau desa.

Nyadran dimaksudkan sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian, juga dijadikan sarana guna melestarikan budaya gotong royong dalam masyarakat sekaligus upaya untuk dapat menjaga keharmonisan bertetangga melalui kegiatan kembul bujono (makan bersama).

- Advertisement -