Teh Secang, Jejak Merah Hangat dari Masa Sriwijaya

Teh secang menjadi salah satu minuman tradisional khas Palembang yang bisa Kawan cicipi ke daerah tersebut. Meskipun bernama teh, minuman ini tidak menggunakan daun teh sebagai bahan utamanya.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Di sebuah pagi yang tenang di tepian Sungai Musi, aroma kayu rebus menguar lembut dari dapur rumah panggung khas Palembang. Di dalam panci tanah liat yang menghitam oleh waktu, potongan kayu berwarna jingga kemerahan perlahan berubah menjadi air berwarna darah delima. Dari sanalah lahir teh secang — minuman tradisional yang menjadi saksi panjang perjalanan budaya, kesehatan, dan sejarah masyarakat Sumatra Selatan.

Bukan tanpa alasan teh secang disebut sebagai minuman kebanggaan Palembang. Warna merahnya yang khas tidak berasal dari daun teh seperti kebanyakan minuman sejenis, melainkan dari serpihan kayu secang (Caesalpinia sappan L.) — tanaman yang sejak ribuan tahun lalu tumbuh di hutan tropis Nusantara.

Menurut catatan dalam jurnal Tinjauan Historis Akulturasi Budaya dalam Kuliner Palembang karya Fatma Dwi Oktaria dan koleganya, kayu secang telah dikenal sejak masa Kerajaan Sriwijaya, sekitar abad ke-7 Masehi. Kala itu, Palembang menjadi pusat perdagangan maritim terbesar di Asia Tenggara, tempat berlabuhnya para saudagar dari India, Tiongkok, hingga Timur Tengah.

- Advertisement -

Dari para pedagang Tiongkok-lah, tradisi minum teh diperkenalkan. Namun masyarakat lokal menyesuaikannya dengan bahan-bahan yang tersedia di bumi Sriwijaya. Daun teh digantikan oleh kayu secang, dan hasilnya adalah sebuah simfoni rasa dan warna yang eksotis — teh tanpa daun, namun tetap memberi kehangatan dan ketenangan jiwa.

Dahulu, teh secang bukan minuman rakyat jelata. Ia disuguhkan di istana Sriwijaya, menjadi bagian dari ritual pengobatan dan minuman kehormatan bagi para raja serta pendeta Buddha. Setiap tegukan dipercaya mampu menghangatkan tubuh, menenangkan pikiran, dan memulihkan tenaga setelah perjalanan panjang melintasi samudra.

Ritual Sederhana yang Bertahan di Dapur Palembang

Teh Secang
Kayu Secang

Meski kini istana Sriwijaya telah menjadi legenda yang tersisa dalam naskah kuno dan reruntuhan batu, tradisi merebus kayu secang masih hidup di dapur-dapur rakyat Palembang. Peralatan modern mungkin telah menggantikan tungku tanah liat, namun prosesnya tetap sama — sederhana dan penuh kesabaran.

- Advertisement -

Segenggam kayu secang kering dimasukkan ke dalam air mendidih. Dalam beberapa menit, warna air berubah dari bening menjadi jingga, lalu merah tua keunguan. Aroma manis kayu berpadu dengan sedikit keharuman rempah.

Baca Juga :  Filosofi Gabus Pucung, Salah Satu Warisan Budaya Kuliner Indonesia

Beberapa orang menambahkan sebatang kayu manis atau sepotong jahe untuk memperkaya rasa, menciptakan minuman yang tidak hanya menyegarkan tenggorokan, tetapi juga menenangkan hati.

“Teh ini bukan cuma penghangat badan,” tutur Nurhayati, penjual minuman tradisional di kawasan Seberang Ulu. “Dari kecil, nenek saya selalu bilang, teh secang itu penghangat jiwa.

- Advertisement -

Warisan Kesehatan dari Alam

Bukan hanya nilai sejarah yang membuat teh secang istimewa. Dalam dunia pengobatan tradisional, kayu secang dikenal kaya akan antioksidan, flavonoid, dan brazilin—zat alami yang memberi warna merah sekaligus manfaat besar bagi tubuh.

Berbagai penelitian modern menunjukkan bahwa air rebusan secang dapat membantu mengatasi peradangan, memperlancar peredaran darah, menekan pertumbuhan sel kanker, dan mengontrol kadar gula darah. Tak heran jika di masa lalu, minuman ini dianggap sebagai “ramuan kehidupan.”

Di banyak rumah Palembang, teh secang kini menjadi bagian dari rutinitas sore hari. Disajikan hangat, dengan tambahan sedikit gula batu atau madu, teh ini menghadirkan rasa manis alami yang berpadu dengan aroma hutan kering dan kehangatan kayu. Setiap tegukannya seperti menyimpan cerita lama—tentang raja, saudagar, dan masyarakat yang menjadikan rempah sebagai jembatan budaya.

Dari Warna Merah ke Warisan Budaya

Teh secang adalah cermin dari akulturasi—pertemuan dua budaya yang menghasilkan harmoni rasa baru. Ia bukan hanya warisan Sriwijaya, tapi juga simbol keterbukaan masyarakat Palembang terhadap pengaruh luar tanpa kehilangan jati diri.

Kini, di tengah derasnya arus modernitas, teh secang mulai kembali digemari generasi muda. Kedai-kedai kopi di Palembang bahkan menyajikan varian modernnya—iced secang latte atau secang honey tea, yang memadukan tradisi dengan gaya hidup kekinian.

Namun bagi mereka yang memahami sejarahnya, teh secang bukan sekadar minuman. Ia adalah warisan merah—hangat, menenangkan, dan mengingatkan bahwa dalam setiap rebusan kayu, tersimpan napas panjang peradaban yang pernah bersemayam di tepian Sungai Musi.

Baca Juga :  Nasi Tempong: Pedasnya Menampar, Nikmatnya Membekas