Camme Tuttuk, Tumbukan Rasa dari Dapur Pegunungan Enrekang

Setiap sendok Camme Tuttuk membawa kita pada cerita tentang tanah yang subur, daun yang dipetik dengan doa, dan tangan yang bekerja dengan hati.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Di kaki pegunungan Latimojong, aroma serai dan santan yang baru saja mendidih perlahan menguar dari dapur-dapur kayu. Di dalamnya, tangan-tangan perempuan Duri sibuk menumbuk daun singkong muda dalam wadah batu. Suara tuttuk, tuttuk dari alu kayu berpadu dengan suara alam yang tenang—ritme yang telah diwariskan lintas generasi. Dari sinilah lahir salah satu hidangan paling khas Enrekang: Camme Tuttuk.

Dalam bahasa Duri, camme berarti sayur dan tuttuk berarti tumbuk. Nama yang sederhana, tapi di balik kesederhanaannya tersimpan filosofi mendalam tentang kesabaran dan harmoni dengan alam.

Daun singkong yang baru dipetik dari kebun belakang rumah ditumbuk hingga lembut, lalu dimasak perlahan bersama serai, santan, dan bumbu dapur tradisional. Tak jarang, jantung pisang muda ikut dimasukkan untuk menambah tekstur dan aroma alami.

- Advertisement -

Hidangan ini bukan sekadar santapan—ia adalah bagian dari ritual kehidupan masyarakat Duri. Camme Tuttuk kerap hadir dalam momen-momen istimewa: syukuran panen, pesta keluarga, atau hari besar adat.

Di atas piring anyaman bambu, Camme Tuttuk sering disajikan bersama Nande Kandoa—campuran nasi dan singkong yang pulen dan wangi. Kombinasi keduanya menghadirkan rasa yang bersahaja namun kaya makna, seperti kehidupan orang-orang Enrekang itu sendiri: sederhana tapi penuh rasa syukur.

Setiap sendok Camme Tuttuk membawa kita pada cerita tentang tanah yang subur, daun yang dipetik dengan doa, dan tangan yang bekerja dengan hati. Di tengah modernitas yang kian cepat, hidangan ini berdiri sebagai pengingat—bahwa kelezatan sejati tak selalu datang dari bahan mahal, melainkan dari kesetiaan menjaga warisan dan meracik rasa dengan cinta.

Baca Juga :  Kawok, Kuliner Tradisional Manado yang Penuh Kejutan Rasa