Cabuk Rambak, Jejak Rasa dan Waktu di Kota Solo yang Perlahan Terlupa

Menikmati cabuk rambak adalah pengalaman yang hampir spiritual. Saat pincuk dibuka, aroma wijen sangrai berpadu dengan daun pisang panas.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Pagi di Kota Solo selalu datang dengan cara yang lembut. Udara masih berembun, suara pedagang sayur terdengar bersahutan di antara gang-gang sempit, dan aroma daun pisang segar mulai menyeruak dari sudut pasar tradisional.

Di antara hiruk pikuk itu, ada satu aroma yang khas—paduan gurih wijen dan daun pisang hangat—yang menandai keberadaan sebuah kuliner yang nyaris punah: cabuk rambak.

Sajian dari Masa yang Pelan

Bagi masyarakat Solo generasi lama, cabuk rambak bukan sekadar makanan; ia adalah potret kehidupan masa lalu yang sederhana dan penuh kesabaran. Nama “cabuk rambak” diambil dari dua elemen utamanya.

- Advertisement -

Cabuk berarti saus berbahan dasar wijen putih yang disangrai hingga harum, lalu dihaluskan dan dicampur dengan kelapa parut, garam, serta sedikit air untuk menciptakan tekstur lembut seperti pasta. Rambak berarti kerupuk yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau, yang digoreng hingga renyah dan disajikan bersama potongan ketupat.

Di atas pincuk—wadah dari daun pisang muda yang dilipat dengan telaten—campuran cabuk dan ketupat disiram saus wijen yang kental, lalu ditaburi rambak di atasnya. Aroma gurih dan sedikit smokey dari wijen berpadu dengan wangi alami daun pisang yang masih hangat. Tidak ada sendok, tidak ada piring porselen; hanya selembar daun, tangan, dan rasa yang mengalir pelan.

Seni dalam Kesabaran

“Kalau membuat cabuk rambak, tidak boleh terburu-buru,” ujar Bu Sri, salah satu penjaja cabuk rambak tertua di Pasar Gede Solo. Usianya sudah lewat enam puluh, tapi tangannya masih cekatan melipat daun pisang dan menuang saus wijen. “Wijen harus disangrai pelan supaya keluar aromanya. Kalau gosong sedikit saja, rasanya jadi pahit.”

- Advertisement -
Baca Juga :  Snack Tradisional Sehat dan Simpel Untuk Temani Nonton Bola Malam Hari

Pembuatan cabuk rambak bisa memakan waktu berjam-jam. Ketupat harus direbus hingga lima jam agar teksturnya kenyal sempurna. Sementara wijen dan kelapa diproses perlahan agar menghasilkan rasa gurih yang dalam. Semua dilakukan dengan kesabaran—sebuah ritme yang jarang ditemui di dapur-dapur cepat saji masa kini.

Sajian ini adalah bentuk seni kuliner yang lahir dari kesederhanaan, sebuah cermin dari karakter orang Solo yang alun-alun waton kelakon—pelan tapi pasti. Dalam setiap gumpal cabuk, tersimpan filosofi tentang ketenangan dan kesetiaan terhadap proses.

Kuliner yang Mengajar Kita untuk Duduk dan Menunggu

Di masa lalu, cabuk rambak dijajakan oleh para ibu berbalut jarik, berjalan dari kampung ke kampung dengan bakul di atas kepala. Mereka berhenti di halaman rumah, membuka pincuk daun pisang, dan menyajikan cabuk rambak di atas tikar kecil. Pembeli duduk bersila di tanah, makan perlahan sambil berbincang ringan. Tidak ada yang terburu-buru, tidak ada yang menatap layar ponsel—hanya rasa, cerita, dan tawa kecil di sela suapan.

- Advertisement -

Kini, pemandangan seperti itu sudah jarang. Penjual cabuk rambak semakin sedikit; sebagian sudah sepuh, sebagian beralih profesi. Di tengah dominasi kafe dan restoran modern di Solo, keberadaan makanan ini seperti bayangan yang semakin memudar. Namun di pasar-pasar tua seperti Pasar Gede dan Pasar Klewer, aroma wijen panggang kadang masih bisa ditemukan jika beruntung.

“Anak muda sekarang jarang yang mau bikin,” kata Bu Sri lagi, matanya menatap kukusan yang beruap. “Padahal ini makanan dari zaman nenek saya dulu. Kalau tidak diteruskan, bisa hilang.”