Sri Sultan Hamengku Buwono I: Arsitek Peradaban Yogyakarta

Di bawah sinar mentari yang menembus gerbang Keraton Yogyakarta, kisah Sultan terus bergema. Tidak hanya sebagai raja, tetapi sebagai penjaga nilai, arsitek kebudayaan, dan penerang jalan bagi generasi mendatang.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Dalam gulungan waktu, sosok Bendara Raden Mas Sujono muncul sebagai kilatan cahaya di tengah kemelut Mataram abad ke-18. Lahir pada 5 Agustus 1717, putra Sunan Amangkurat IV dari Mas Ayu Tejawati ini tidak hanya sekadar pewaris darah biru, tetapi juga pembawa ruh budaya yang kelak akan meresap hingga ke nadi masyarakat Yogyakarta.

Dari kecil, BRM Sujono sudah menunjukkan keistimewaan. Dalam hikayat, ia digambarkan seperti sosok yang ditakdirkan untuk memimpin. Tangannya lihai menguasai pedang dan tubuhnya menyatu dengan kuda, melesat seperti angin. Namun, lebih dari itu, ia juga seorang peziarah batin. Di bawah gemintang malam, ia melantunkan doa, mengaji Al-Qur’an, dan menegakkan shalat dengan ketulusan yang menjadi contoh bagi rakyatnya.

Ketika sang paman, Pangeran Mangkubumi, meninggalkan dunia fana pada 1730, Sujono ditahbiskan sebagai penerus gelar itu. Gelar ini bukan hanya nama, melainkan cerminan tanggung jawab besar sebagai penjaga tradisi dan kebijaksanaan Jawa. Namanya, Pangeran Mangkubumi, kelak menggema sebagai simbol perjuangan.

- Advertisement -

Dalam Serat Cebolek, kisahnya tertulis bagai sajak kehidupan. Pangeran yang gemar berpuasa Senin-Kamis dan mengembara, menyatu dengan rakyat kecil, membawa harapan bagi yang lemah. Ketika penjajah VOC berusaha menundukkan Mataram, ia bangkit memimpin perlawanan. Tahun 1746 menjadi saksi awal perjuangannya, dengan 3.000 prajurit setia mendampinginya. Angka ini melesat menjadi 13.000 pada tahun berikutnya, termasuk pasukan berkuda yang gagah.

Kesetiaan bukan hanya dari pedang, tetapi juga dari hati rakyat. Tahun 1750, perjuangannya menjelma gelombang besar, melibatkan petani, saudagar, hingga pengrajin. Semuanya terpikat oleh jiwa pemimpin yang tidak hanya bertempur untuk tanah, tetapi juga untuk martabat.

Pangeran Mangkubumi bukan hanya pendiri Keraton Yogyakarta. Ia adalah denyut sejarah, sosok yang menganyam budaya dan keadilan ke dalam jiwa sebuah bangsa. Warisannya tidak hanya berupa bangunan megah, tetapi juga semangat yang terus hidup dalam hati masyarakat Yogyakarta hingga kini.

- Advertisement -
Baca Juga :  Sejarah Kerajaan Muna di Sulawesi Tenggara

Pangeran Mangkubumi dan Lahirnya Kerajaan Baru

Langit Mataram di tahun 1740 memancarkan aura muram. Pemberontakan demi pemberontakan mengoyak ketenangan negeri, dimulai dari Geger Pacina yang dipimpin Sunan Kuning hingga gerakan sporadis yang diprakarsai Pangeran Sambernyawa.

Riuh peperangan memaksa istana Kartasura dipindahkan ke Surakarta pada 17 Februari 1745, sebuah keputusan yang tak sekadar fisik, tetapi juga simbolik: pusat kekuasaan Mataram mulai goyah.

Di tengah situasi genting itu, seorang tokoh muncul bagaikan cahaya di kegelapan. Pangeran Mangkubumi, seorang bangsawan yang cakap membaca situasi, menerima tantangan Susuhunan Paku Buwono II untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa. Namun, misi yang semula tampak sederhana berubah menjadi babak baru dalam sejarah.

- Advertisement -

Mangkubumi menyusun rencana yang brilian: menguasai pesisir utara Jawa, sumber kekuatan ekonomi dan politik VOC. Tapi seperti mesin yang berkarat, sistem istana mengkhianatinya. Patih Pringgoloyo, dengan restu VOC, menghentikan langkah strategis ini. Pengkhianatan tersebut memicu keputusan besar: Mangkubumi meninggalkan istana dan memulai perjuangan bersenjata.

- Advertisement -