Februari 1839, di dalam keraton yang megah, seorang bayi lahir dari Gusti Kanjeng Ratu Sultan, permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Gusti Raden Mas Murtejo, nama yang diberikan kepadanya, adalah sosok yang kelak membawa Yogyakarta melintasi era tradisional menuju modernitas.
Setelah wafatnya ayahanda pada tahun 1877, Murtejo naik takhta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII, seorang raja yang tak hanya memerintah, tetapi juga membentuk ulang wajah kerajaannya.
Di masa pemerintahannya, deru mesin-mesin pabrik gula menggema di tanah Mataram, tanda bahwa industrialisasi mulai meresap ke jantung Nusantara. Sebanyak 17 pabrik gula berdiri, menjadi penopang ekonomi lokal sekaligus sumber pendapatan bagi kerajaan. Dari setiap pabrik, Sultan menerima aliran florin yang tak terhitung jumlahnya, menjadikannya simbol kekayaan yang hampir tak tertandingi di masa itu.
Namun, Sultan bukanlah seorang raja yang sekadar mengumpulkan kekayaan. Di tengah gemuruh era Tanam Paksa, ia melihat peluang untuk membangun infrastruktur yang mempercepat roda ekonomi. Jalur kereta api dan lori-lori pengangkut tebu membentang di bawah arahan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), membuka akses perdagangan yang lebih luas. Hasil sewa dari jalur ini kembali memperkuat pundi-pundi kerajaan, menegaskan julukannya sebagai “Sultan Sugih.”
Meski dikenal kaya, kebijakan Sultan tak melulu soal materi. Ia adalah sosok visioner yang memahami pentingnya ilmu pengetahuan. Anak-anaknya dikirim hingga ke Belanda untuk belajar, membawa pulang wawasan baru yang kelak akan membangun kembali keraton sebagai pusat intelektual.
Tak hanya itu, Sultan juga membuka seni tari yang sebelumnya eksklusif bagi keraton. Krido Bekso Wiromo, sekolah tari gaya Yogyakarta, menjadi bukti bahwa seni dan tradisi dapat diakses oleh siapa saja. Di Dalem Tejokusuman, langkah-langkah tari membentuk harmoni baru antara tradisi dan keterbukaan.
Langkah Sultan tak berhenti di situ. Ia mendorong pentas seni, seperti wayang dan tari, untuk lebih hidup di tengah masyarakat. Pada akhir tahun 1918, panggung-panggung seni mulai ramai, membawa kehidupan baru ke dalam jiwa rakyatnya.
Namun, pengaruh Sultan meluas jauh melampaui seni. Di bawah naungannya, muncul organisasi yang kelak mengubah wajah Nusantara. Muhammadiyah, didirikan oleh Raden Ngabei Ngabdul Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan, lahir dari lingkungan keraton. Dahlan, seorang abdi dalem yang disekolahkan Sultan ke Arab Saudi, membawa pulang ide besar yang berakar pada pendidikan dan amal usaha. Organisasi ini tumbuh pesat dari Kauman, menyebar ke seluruh penjuru tanah air.
Hamengku Buwono VII adalah lebih dari sekadar seorang raja. Ia adalah arsitek zaman, membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan modernitas. Di bawah naungannya, Yogyakarta menjadi episentrum perubahan, tempat sejarah, seni, dan pemikiran maju berpadu menjadi satu.
Di balik gerbang keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono VII menjalankan peran yang lebih dari sekadar seorang raja. Ia adalah seorang visioner yang menyadari bahwa perubahan zaman memerlukan pendekatan baru. Melalui keputusan-keputusannya, ia menciptakan ruang bagi berbagai ide besar yang kelak menjadi fondasi awal berdirinya Indonesia.
Bangunan Loji Mataram yang megah di Jl. Malioboro, kini gedung DPRD DIY, menjadi saksi bisu atas dukungan Sultan terhadap kaum intelektual muda. Gedung itu dipinjamkan kepada Budi Utomo untuk menggelar kongres pertama mereka, langkah awal menuju pergerakan nasional.
Di sisi lain, Sultan juga menunjukkan toleransi keagamaan yang jarang terlihat pada masanya. Ia memberi umat Islam kebebasan merayakan hari besar sesuai kalender Hijriah, meskipun tradisi keraton, seperti Garebeg, tetap dijalankan berdasarkan kalender Sultan Agungan.
Namun, di balik keagungan dan toleransi, Sultan menyadari bahwa kekuasaan tidak bisa bertahan selamanya. Menjelang usia 81 tahun, pada 1920, ia memutuskan untuk turun takhta. Keputusannya bukan sekadar soal usia, tetapi juga respons terhadap tekanan yang kian besar dari pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial saat itu menggagas reorganisasi agraria, sebuah kebijakan yang memaksa Sultan mengembalikan semua tanah ke bawah kuasa keraton, tetapi dengan satu syarat: pengelolaannya berada di bawah pengawasan Hindia Belanda.
Melalui sistem ini, hasil pengelolaan tanah harus masuk ke kas daerah (landschapkas), yang mana penggunaannya hanya diperbolehkan dengan persetujuan residen Belanda. Dengan kebijakan ini, Sultan secara politis kehilangan kendali atas kerajaannya sendiri, seperti menjadi pegawai di bawah struktur kolonial.
Sultan, yang tak ingin melihat kedaulatan keraton tergerus lebih dalam, memilih untuk madeg pandhita dan menjalani sisa hidupnya di pesanggrahan Ambarukmo. Sebelum turun takhta, ia menunjuk GRM Sujadi sebagai penerusnya. Langkah ini dilakukan demi menjaga stabilitas pemerintahan dan menghindari gejolak di tengah pengaruh kolonial yang semakin kuat mencengkeram keraton.
Di masa pensiun, Sultan Hamengku Buwono VII tetap dikenang sebagai pemimpin yang berani mengambil langkah sulit demi mempertahankan martabat keraton di tengah tekanan kolonial. Keputusannya menjadi simbol kebijaksanaan seorang raja yang tak hanya memikirkan kekuasaan, tetapi juga warisan masa depan.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII tidak hanya dikenal sebagai seorang pemimpin visioner, tetapi juga sebagai pelopor berbagai karya dan inovasi yang meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Yogyakarta. Di bawah pemerintahannya, muncul kontribusi yang luar biasa di bidang seni, infrastruktur, dan budaya, menjadikannya sosok yang dikenang sepanjang masa.
Di dunia seni, Sultan menjadi inspirator lahirnya tarian-tarian klasik seperti Tari Bedaya Sumreg, Srimpi Dhendhang Sumbawa, dan Bedaya Lala. Pada masa pemerintahannya, terjadi perubahan penting dalam kostum Tari Bedaya.
Jika sebelumnya menggunakan kampuh, Sultan menggantinya dengan mekak, meskipun tata riasnya tetap mempertahankan gaya paes ageng yang khas. Era ini juga menandai kejayaan seni pembuatan keris, di mana abdi dalem empu menghasilkan keris-keris unggulan yang dikenal dengan keris tangguh kaping piton.
Tak hanya seni, Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga meninggalkan warisan berupa infrastruktur bersejarah. Salah satu proyek besar di era pemerintahannya adalah renovasi Tugu Golong Gilig, ikon kota Yogyakarta yang rusak akibat gempa pada tahun 1867.
Renovasi ini melibatkan arsitek Belanda, YPF van Brussel, di bawah pengawasan Patih Danurejo V. Setelah selesai, tugu tersebut diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889, berdiri kokoh hingga kini sebagai simbol filosofi manunggaling kawula lan gusti.
Selain itu, Pesanggrahan Ambarukmo, tempat di mana Sultan menghabiskan masa tuanya, menjadi bukti lain dari warisan arsitektur yang megah. Pabrik-pabrik gula dan jalur kereta api yang dibangun pada masanya menunjukkan komitmen Sultan terhadap modernisasi dan pembangunan ekonomi keraton.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII wafat pada tanggal 30 Desember 1921 (29 Rabingulakir 1851) dan dimakamkan di Astana Saptorenggo, Pajimatan Imogiri. Kepergiannya meninggalkan jejak warisan yang tidak hanya menjadi kebanggaan Yogyakarta, tetapi juga mengukir namanya sebagai salah satu pemimpin besar Nusantara.