Masyarakat Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT, sangat memegang teguh adat istiadat dan budaya mereka. Ketaatan dan keteguhan itu salah satunya diperlihatkan dalam memelihara, merawat dan menghormati beragam tradisi atau adat istiadat mereka. Hal itu tercermin dalam relasi interaksi kehidupan sosial yang senantiasa menjunjung tinggi etika dan nilai kekeluargaan, kekerabatan dan gotong royong.
Pola hidup seperti itu terekspresikan dalam kehidupan masyarakat yang terungkap dalam bahasa adat Ti’i Mona Wiki, Pati Mona Lai sebagai filosofi orang Nagekeo yang artinya hidup harus saling menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan.
Salah satunya budaya perkawinan. Perkawinan mengarah pada tujuan yang sederhana yaitu untuk melanjutkan keturunan. Hal ini dimaksudkan bukan hanya sebagai penerus suatu keluarga, namun juga atas kewajiban-kewajiban mengenai upacara adat serta kebiasaan lain yang harus dilanjutkan secara turun temurun. Belis dilambangkan sebagai syarat sahnya perkawinan dalam masyarakat Nagekeo.
Adapun tahap-tahapan yang diberlakukan dalam pernikahan itu dimulai dari lamaran, memberikan belis (mas kawin) hingga pada pernikahan. Tahapan ini dimulai dengan Tana Ngale atau tahap pengenalan dimana calon suami ditemani oleh kerabat tanpa orang tua untuk menyampaikan keinginan dan tujuannya pada pihak keluarga perempuan.
Setelah tahap pengenalan lalu dilanjutkan dengan tahap Teo Tada dengan menggantungkan anting emas sebagai bentuk ikatan diantara keduanya. Tahapan selanjutnya ialah Be’o Sa’o yakni, calon mempelai laki-laki datang ke
kediaman perempuan untuk melakukan perundingan mengenai berapa belis yang diminta oleh pihak keluarga perempuan.
Ketika kedua keluarga mendapat kata mufakat, makan dilanjutkan ke tahap Tu Ngawu. Tahap ini merupakan proses inti dengan pemberian belis yang ditutup dengan acara Ka Peme atau makan bersama.
Bentuk belis pada tiap-tiap daerah di NTT memiliki kekhasannya masing-masing. Pada masyarakat Nagekeo, belis biasanya berupa hewan ternak, seperti Kambing, Sapi, Kerbau, Domba, Kuda, Anjing, Ayam, serta benda-benda lain yakni Emas, Kelapa, Siri Pinang, dan moke atau Arak.
Namun, perkawinan dengan sistem belis tidak berpengaruh pada tingkat kepatuhan istri kepada suami, dan begitupun sebaliknya.
Makna belis dalam perkawinan adat
- Perkawinan adat membutuhkan persiapan matang baik secara biologis (potong gigi/sunat) maupun secara ekonomis (ungkapan adat harus kerja kebun dan iris moke)
- Perkawinan adat mengangkat harkat dan martabat perempuan (dadho padha lodo teda, so topo seli bhuja)
- Perkawinan adat mengajarkan orang untuk tahu membalas jasa orang tua
- Perkawinan adat tidak memberatkan pemangkunya
- Perkawinan adat menjamin hak-hak anak yang dilahirkan
- Perkawinan adat membutuhkan keterlibatan kerabat, handai taulan dan tetangga (Dalam tuntutan adat perkawinan ada yang namanya begha ulu eko ta degha he’a aku awu, mona kisa kobe manu kako ).