Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sindoro, 7 Maret 1750, sejarah mencatat kelahiran seorang pangeran muda yang kelak mengguncang tatanan kekuasaan di Jawa. Dari rahim Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten, permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I, lahirlah Raden Mas Sundoro, seorang putra yang sejak dini ditempa dalam kancah konflik dan perjuangan melawan pengaruh asing.
Raden Mas Sundoro melewati masa kecil di pengungsian, jauh dari kenyamanan keraton, sementara perang melawan VOC terus berkobar. Di balik kegetiran itu, watak keras dan jiwa pemberontak mulai terasah dalam dirinya. Pada 1755, Giyanti menjadi penanda era baru: pemindahan keluarga besar Sri Sultan Hamengku Buwono I ke Yogyakarta. RM Sundoro pun mulai hidup sebagai seorang putra raja, dan perlahan hubungan emosionalnya dengan sang ayah kian erat.
Pada tahun 1758, sebuah peristiwa penting terjadi. Ketika RM Sundoro dikhitan, ia resmi diangkat sebagai putra mahkota, menggantikan Raden Mas Ento yang wafat secara mendadak setelah kunjungan ke Borobudur. Meskipun keputusan ini berlandaskan kebutuhan politik, tak dapat dimungkiri bahwa RM Sundoro membawa harapan baru bagi dinasti Mataram yang terpecah-belah.
Tahun 1763 dan 1765 menandai upaya besar Sultan Hamengku Buwono I untuk mempererat hubungan antara Yogyakarta dan Surakarta melalui pernikahan politik. Namun, pernikahan itu tak pernah terwujud. Sang putri Kasunanan akhirnya menikah dengan putra Adipati Mangkunegoro I, mempertegas keretakan antara dua kerajaan. Mimpi Sultan untuk menyatukan kembali Dinasti Mataram pun perlahan memudar.
Ketegangan antara Yogyakarta dan Surakarta semakin memuncak, terutama karena sengketa batas wilayah yang tak kunjung selesai. Pada 26 April 1774, Perjanjian Semarang, yang dimotori oleh VOC, lahir sebagai solusi. Namun bagi RM Sundoro, perjanjian ini justru mempersempit kekuasaan raja-raja Jawa dan memperbesar dominasi asing di Nusantara. Dari titik inilah, kebencian terhadap VOC tumbuh subur dalam dirinya.
Jejak Pemberontakan: Awal Sebagai Pemimpin
Tahun 1785 menjadi tonggak penting dalam kehidupan RM Sundoro. Sang ayah menegaskan statusnya sebagai pewaris takhta, disertai perayaan besar yang diselenggarakan untuk menandai pergantian abad Tahun Jawa (1700). Dengan status itu, RM Sundoro mulai memimpin berbagai inisiatif pertahanan di keraton. Ia mengerahkan pekerja untuk membangun tembok baluwarti di sekitar alun-alun utara dan selatan, sekaligus menempatkan 13 meriam untuk menantang dominasi benteng Belanda, Rustenburg.
Lihat postingan ini di Instagram
Ketika tiba saatnya dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II pada 2 April 1792, sikap anti-Belanda semakin menjadi-jadi. Ia menolak keras tuntutan VOC yang ingin menyetarakan posisi duduk wakilnya dengan sang Sultan. Bahkan, Sultan menunjuk patih baru tanpa melibatkan VOC, menegaskan kedaulatannya di tengah hegemoni asing.
Pada awal abad ke-19, dunia berada dalam pusaran perubahan besar. Teknologi kolonial yang dimotori kekuatan-kekuatan Barat mulai berhadapan dengan perlawanan lokal yang bercita-cita mempertahankan kedaulatan. Di bawah bayang-bayang penjajahan, Sri Sultan Hamengku Buwono II berdiri sebagai figur sentral, membawa narasi perjuangan di tengah dominasi kolonial.
Bangkrutnya VOC dan Tatanan Baru Daendels
Tahun 1808 menandai transformasi besar di Hindia Belanda. VOC, perusahaan dagang yang telah menguasai Nusantara selama dua abad, resmi bangkrut. Di bawah kendali Napoleon Bonaparte, wilayah-wilayah bekas jajahan VOC diserahkan kepada pemerintah kolonial. Herman Willem Daendels, seorang administrator pragmatis, diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tugasnya: mereorganisasi bekas wilayah VOC di bawah kendali Perancis.
Daendels segera mengeluarkan dekrit revolusioner, menjadikan semua kerajaan Jawa subordinat dari Kerajaan Belanda. Hak pengelolaan sumber daya, termasuk hutan, berada dalam genggaman pemerintah kolonial. Namun, Sri Sultan Hamengku Buwono II menolak tunduk pada aturan tersebut.
Keputusan Sultan memicu konflik langsung. Pada 1810, Daendels datang ke Yogyakarta dengan membawa 3300 pasukan. Tekanan militer memaksa Sultan menyerahkan takhta kepada putranya, RM Surojo, yang diangkat sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono III. Namun, alih kekuasaan ini hanya membuka babak baru dalam pergolakan kerajaan.