Sri Sultan Hamengku Buwono VI: Catatan Sang Pewaris Tahta

Di antara dimensi waktu dan ruang, cerita Mangkubumi tak pernah usai, hanya bertransformasi menjadi bayangan di balik gerbang keraton yang menunggu untuk ditemukan kembali.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Tahun 1821, di tengah denting gamelan yang mengiringi kelahiran seorang bayi lelaki, sebuah garis waktu terentang. Dialah Gusti Raden Mas Mustojo, putra Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan Gusti Kanjeng Ratu Kencono, yang telah lama dinanti oleh keraton Yogyakarta. Namun, takdirnya bukan hanya sekadar putra mahkota.

Dalam semesta paralel yang terselubung misteri, Mustojo adalah pewaris gelar dan kekuatan yang akan mengubah nasib peradaban keraton dan sekitarnya. Di usia 18 tahun, tahun 1839, Mustojo, yang telah menerima nama baru sebagai Pangeran Adipati Mangkubumi, diangkat menjadi Letnan Kolonel oleh pemerintah Hindia Belanda.

Gelar itu hanyalah permukaan dari peran yang ia mainkan di antara dua dunia: dunia manusia dan dunia gaib yang penuh intrik. Pangkatnya naik menjadi Kolonel pada 1847, sebuah tanda bahwa kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya mulai diakui bahkan oleh kekuatan asing.

- Advertisement -

Namun, kekacauan tak pernah jauh dari lingkaran kerajaan. Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat tanpa meninggalkan seorang putra, nasib kerajaan seolah tergantung pada benang rapuh. Dalam kondisi genting itu, kolonial Hindia Belanda menunjuk Pangeran Adipati Mangkubumi sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VI, yang diresmikan pada tanggal 5 Juli 1855.

Di sisi lain, permaisuri Sultan sebelumnya, GKR Sekar Kedaton, akhirnya melahirkan seorang putra yang diberi nama Gusti Raden Mas Timur Muhammad. Namun, teka-teki takdir pemimpin kerajaan tetap menghantui lorong-lorong keraton.

Sebagai pemimpin, Mangkubumi bukanlah tokoh yang hanya mematuhi protokol semata. Ia menghidupkan kembali hubungan yang renggang antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan menikahi putri Susuhunan Paku Buwono VIII. Tak hanya itu, ia memperluas aliansi diplomatik dengan menikahi putri dari Kerajaan Brunei, menciptakan jaringan yang melampaui batas teritorial maupun spiritual.

- Advertisement -
Baca Juga :  Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Pangeran Dalam Republik

Namun, kehidupan kerajaan tak selamanya damai. Tahun 1867 menjadi titik balik, ketika bumi Yogyakarta diguncang oleh gempa dahsyat berkekuatan 6,8 skala Richter. Retakan tanah bukan hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga mengguncang keyakinan rakyat.

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Jogja (@keindahan.jogja)

Keraton, Masjid Gedhe, dan Tugu Golong Gilig menjadi saksi bisu kerusakan itu. Namun, Sultan, dengan kebijaksanaan yang diwarisi dari leluhur dan kekuatan yang tak terlihat, menghibur rakyatnya, meyakinkan bahwa bencana seperti itu takkan terulang.

- Advertisement -

Meski demikian, gempa itu menyisakan luka yang tak sepenuhnya sembuh. Sultan memilih untuk menghapus ingatan kolektif rakyat akan peristiwa tersebut. “Biarlah gempa itu menjadi cerita angin,” katanya. Dan benar, jejak gempa itu perlahan menghilang dari naskah-naskah keraton, terkubur dalam ingatan yang sengaja dilupakan.

Pada tahun 1877, tepat di usia 56 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VI menghembuskan napas terakhirnya. Sebulan setelahnya, estafet kepemimpinan beralih ke putranya, Raden Mas Murtejo, yang dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Namun, jejak langkah Mangkubumi tetap menjadi bagian dari kisah abadi yang mengalir di tanah Yogyakarta, seakan bisikan keraton masih menggaungkan namanya dalam setiap sudut sejarah.

Jejak Seni dan Tradisi Sri Sultan Hamengku Buwono VI

Sri Sultan Hamengku Buwono VI, selain menjadi tokoh penting dalam sejarah politik dan diplomasi Kasultanan Yogyakarta, juga meninggalkan warisan budaya yang hingga kini tetap abadi.

Dua karya seni tari monumental tercipta di masa pemerintahannya, yakni tari Bedhaya Babar Layar dan Srimpi Endra Wasesa. Keduanya bukan sekadar tarian, melainkan representasi filosofi dan harmoni yang mencerminkan nilai-nilai spiritual serta estetika tinggi khas budaya Jawa.

Baca Juga :  Melihat Rumah Adat Tuaninu, Sang Penjaga Peradaban

Pada masa beliau pula, dipesan kereta Kyai Wimono Putro, sebuah kereta yang kemudian menjadi simbol penting dalam upacara pelantikan putra mahkota menjadi sultan. Kereta ini dirancang dengan detail yang memadukan keanggunan seni ukir dengan simbol-simbol kerajaan yang sarat makna.

Selain itu, kereta kebesaran pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono VI, Kyai Kanjeng Garudho Yakso, menjadi salah satu peninggalan yang hingga kini digunakan dalam berbagai prosesi resmi kerajaan, memperlihatkan keagungan tradisi yang diwariskan dari masa ke masa.

Peninggalan ini bukan hanya artefak sejarah, tetapi juga medium yang menghubungkan generasi modern dengan kejayaan masa lalu, menjaga tradisi tetap hidup di tengah perubahan zaman.

- Advertisement -