Setiap kali nama “soto Betawi” disebutkan, hampir bisa dipastikan benak kita langsung membayangkan sajian hangat berkuah santan dengan potongan daging sapi empuk, aroma rempah yang menggoda, serta taburan bawang goreng yang menggugah selera.
Tak sedikit pula yang menganggap bahwa kuliner ini murni berasal dari tangan dan tradisi masyarakat Betawi asli. Namun, ada satu fakta menarik yang jarang diketahui: tokoh yang pertama kali menggunakan istilah “soto Betawi” ternyata bukan orang Betawi, melainkan seorang keturunan Tionghoa bernama Lie Boen Po.
Lie Boen Po adalah penjual soto yang berjualan di kawasan hiburan THR Lokasari, atau yang dahulu dikenal sebagai Prinsen Park. Di tempat itulah, ia memopulerkan nama “soto Betawi” untuk menyebut jenis soto yang ia sajikan. Sejak saat itu, istilah tersebut melekat kuat di tengah masyarakat, dan kuliner ini perlahan menjelma menjadi salah satu ikon kuliner Jakarta yang tak tergantikan.
Keistimewaan soto Betawi tidak hanya terletak pada nama dan sejarahnya, tetapi juga dari cita rasa yang khas dan komposisi bahan yang menggoda. Dalam penyajiannya, semangkuk soto Betawi biasanya berisi potongan daging sapi atau jeroan seperti paru, babat, dan hati, yang telah direbus hingga empuk dan dimasukkan ke dalam kuah berwarna kekuningan.
Kuah ini menjadi daya tarik utama karena memiliki rasa gurih yang khas—hasil dari perpaduan santan dan susu yang menciptakan sensasi creamy dan lezat, berbeda dari jenis soto lain yang biasanya menggunakan kuah bening atau santan saja.
Untuk pelengkap, soto Betawi hampir tidak pernah disajikan tanpa tomat segar, daun bawang, seledri, serta bawang goreng yang memberikan aroma wangi dan rasa renyah. Di samping itu, hadir pula kerupuk emping yang gurih dan sedikit pahit, sambal pedas bagi penikmat rasa kuat, irisan jeruk nipis yang memberikan kesegaran, serta acar timun dan wortel yang menyeimbangkan rasa dengan sensasi asam-manis.
Menariknya, meski dikenal sebagai soto “khas” Betawi, kuliner ini sesungguhnya mencerminkan akulturasi budaya yang khas Jakarta—tempat berbaurnya berbagai etnis dan tradisi. Perpaduan pengaruh Tionghoa dalam nama dan penyebarannya, unsur lokal Betawi dalam rempah dan bahan, hingga inovasi modern yang menyertai proses penyajian, semua menjadi cermin dari dinamika budaya ibu kota.
Kini, sot0 Betawi dapat ditemukan di berbagai sudut Jakarta, dari warung tenda sederhana di pinggir jalan, rumah makan legendaris di kawasan tua, hingga restoran mewah yang mengangkat kekayaan cita rasa tradisional. Bahkan banyak masyarakat di luar Jakarta yang turut menggemari soto ini dan menjadikannya bagian dari daftar kuliner favorit mereka.
Di tengah gempuran berbagai makanan cepat saji dan tren kuliner modern, soto Betawi tetap bertahan sebagai salah satu warisan rasa yang dicintai lintas generasi. Kehadirannya bukan hanya menggugah selera, tetapi juga membawa serta potongan sejarah tentang Jakarta yang kaya akan kisah dan cita rasa. Soto Betawi tidak sekadar makanan, melainkan narasi tentang identitas, keberagaman, dan cita rasa yang terus hidup di tengah perubahan zaman.