Sayur Genjer, Simbol Ketahanan Hidup Orang Kalimantan

Genjer dikenal sebagai “sayur wong cilik” — makanan rakyat kecil yang berjuang untuk bertahan hidup.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas rawa-rawa Kalimantan Tengah. Air berkilau memantulkan warna langit keperakan, sementara di antara lumpur dan daun-daun lebar, tampak tangan-tangan perempuan Dayak menunduk, memetik helai hijau yang menjulang dari air.

Mereka memungut genjer — tumbuhan liar yang sejak lama tumbuh tanpa ditanam, tanpa dijaga, namun selalu setia hadir di piring-piring rumah tangga pedalaman.

Di dapur kayu berasap, aroma bawang merah dan cabai yang ditumis di wajan besi menyatu dengan wangi khas genjer yang baru saja diremas dengan garam untuk menghilangkan getahnya.

- Advertisement -

Bagi masyarakat Kalimantan, sayur genjer bukan sekadar makanan — ia adalah simbol kesederhanaan, ketahanan, dan kreativitas dalam menghadapi kerasnya hidup di tanah rawa.

Tumbuhan yang Tumbuh di Air dan Bertahan di Segala Cuaca

Genjer
Genjer

Dalam buku Kitab Tumbuhan Obat karya Syamsul Hidayat dan Panduan Praktis Mengenal Tumbuhan di Sekitar Kita oleh Deniek G. Sukarya, genjer (Limnocharis flava) digambarkan sebagai tanaman rawa berdaun tegak yang hidup berkelompok di air dangkal — di sawah, empang, hingga tepian sungai.

Tidak seperti eceng gondok yang mengapung, genjer berakar kuat di lumpur, seolah menegaskan daya tahannya terhadap alam yang tak selalu ramah.

- Advertisement -

Bagi sebagian orang, genjer hanyalah tanaman liar pengganggu. Namun bagi masyarakat Dayak, terutama di wilayah Malinau hingga Kapuas, genjer adalah “emas hijau” dari rawa — bahan pangan gratis yang kaya nutrisi: serat, zat besi, kalsium, dan protein nabati.
Mereka memetik daun mudanya, merebusnya sebentar, lalu menumisnya dengan ulekan cabai, bawang, dan terasi di atas tungku.

Dari bahan yang sederhana, lahirlah rasa yang renyah, sedikit pahit, namun menggugah selera — rasa yang menggambarkan keseharian masyarakatnya: keras, jujur, tapi hangat.

Baca Juga :  Mengenal Juhu Singkah, Hidangan Ikonik Suku Dayak dari Umbut Rotan Hutan Kalimantan

 

- Advertisement -

Ketika Genjer Jadi Simbol Perlawanan

Di balik kelezatannya, genjer menyimpan sejarah panjang — kisah tentang kelaparan, perlawanan, dan politik. Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), ketika bahan makanan sulit didapat, genjer menjadi penyelamat bagi banyak keluarga di Jawa dan Kalimantan. Ia tumbuh liar, mudah diambil, dan bisa dimasak tanpa perlu bumbu rumit.

Karena itulah, genjer dikenal sebagai “sayur wong cilik” — makanan rakyat kecil yang berjuang untuk bertahan hidup.

Kisah itu kemudian diabadikan dalam lagu legendaris Genjer-Genjer ciptaan Muhammad Arief dari Banyuwangi. Lagu itu awalnya merupakan satire terhadap penderitaan rakyat di bawah penjajahan Jepang, namun di kemudian hari dikaitkan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Selama masa Orde Baru, lagu Genjer-Genjer sempat dilarang, dan tanaman itu pun ikut terkena stigma — seolah selembar daun genjer membawa beban sejarah yang berat.

Kembali ke Rawa, Kembali ke Asal

Kini, genjer tak lagi hanya dilihat dari kisah kelamnya. Ia kembali ke hakikatnya: tumbuhan liar yang memberi makan, memberi kehidupan.

Di dapur-dapur sederhana di pedalaman Kalimantan, perempuan Dayak masih menumisnya seperti nenek mereka dahulu. Di tangan mereka, genjer bukan sekadar bahan masakan — ia adalah warisan dari alam, pengingat bahwa kelezatan sejati sering tumbuh di tempat yang paling tak terduga.

Jika suatu hari Anda berkunjung ke Kalimantan Tengah atau Utara, sempatkan diri mencicipi tumis genjer di warung tradisional Dayak di tepian sungai Kapuas atau di pasar pagi Palangka Raya.

Nikmatilah selagi panas, ketika uapnya masih mengepul dan aroma terasi bercampur wangi tanah basah dari rawa.

Sebab di balik kesederhanaan itu, tersimpan rasa yang dalam — rasa yang lahir dari daya tahan, alam, dan ingatan akan masa lalu bangsa yang pernah belajar bertahan dengan secawan sayur hijau dari lumpur.

Baca Juga :  Sop Tunjang Yang Menggugah Selera