Seperti halnya di berbagai daerah di Indonesia, upacara adat menjadi momen penting untuk menyampaikan harapan dan doa kepada Yang Maha Kuasa. Tradisi ini melambangkan harapan orang tua, yang diungkapkan melalui mantra, agar yang didoakan memperoleh keselamatan, kebahagiaan, dan kebijaksanaan dalam hidupnya.
Upacara adat ini berawal dari sebuah kisah di Tanjung Ruwana, Kutai, sekitar tahun 1300. Pada masa itu, lahir seorang bayi perempuan yang kelak menjadi permaisuri Raja pertama Kutai, Adji Batara Agung Dewa Sakti.
Siapa Aji Batara Agung Dewa Sakti?
Menurut Wikipedia, Aji Batara Agung Dewa Sakti adalah pendiri sekaligus Maharaja dari Kerajaan Kutai Kartanegara yang memerintah dari tahun 1300 hingga 1325. Ia adalah putra dari Patinggi Jahitan-Laya, yang diduga berasal dari koloni Pulau Jawa.
Kerajaannya didirikan di daerah bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (sekarang menjadi sebuah desa di Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara). Daerah ini dinamakan Nusentara, yang berarti “tanah yang terpisah,” karena lokasinya berada di antara Jahitan Layar dan Kutai Lama.
Aji Batara Agung Dewa Sakti menikah dengan Aji Putri Karang Melenu, putri dari Punggawa Besar, Patinggi dari Hulu-Dusan. Raja meninggal pada tahun 1325 setelah tenggelam di Sungai Mahakam.
Ia memiliki seorang putra, Aji Batara Agung Paduka Nira, yang kemudian menjadi Maharaja Kutai Kartanegara. Aji Batara Agung Dewa Sakti dikenal sebagai pendiri Dinasti Kutai Kartanegara serta leluhur raja-raja dan sultan Kutai Kartanegara beserta keturunannya.
Prosesi Beluluh berasal dari kata “luluh,” yang berarti “musnah,” dan “buluh,” yang berarti “batang bambu.” Dalam prosesi ini, Sultan Kutai berdiri di atas tilam kasturi.
Ritual Beluluh tidak hanya bertujuan untuk membersihkan energi negatif, tetapi juga menjadi bentuk doa agar Sultan dan seluruh kerabatnya selalu diberkahi kesehatan dan keselamatan. Prosesi ini merupakan bagian dari usaha untuk membangun Odah Etam Kutai Kartanegara menuju kesejahteraan yang lebih baik.
Prosesi Ritual Belulu
Dalam upacara Ritual Beluluh, seorang Belian berperan sebagai pendoa yang menyampaikan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk membersihkan Raja, Sultan, atau Putra Mahkota dari segala unsur jahat, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Unsur-unsur jahat tersebut diluluhkan di atas buluh atau bambu, sebagai tanda dimulainya pelaksanaan Erau Adat Kutai. Upacara ini dilakukan pada awal Erau Adat Kutai dan diulang setiap sore hari selama perayaan berlangsung. Ritual Beluluh terdiri dari beberapa tahap, yaitu Beluluh Sultan, Beluluh Aji Begorok, dan Beluluh Aji Rangga Titi.
Upacara ini diawali dengan Sultan, Raja, atau Putra Mahkota duduk sejenak di tilam kasturi sebelum bangun dan berjalan menuju balai—kursi tiga tingkat yang dibuat dari bambu kuning dengan 41 tiang.
Balai ini terletak di atas tambak karang dan dihiasi molo atau guci kuningan yang didekorasi bunga, mayang kelapa, dan mayang pinang di kiri dan kanannya. Setelah tiba di balai, Sultan menaiki balai hingga tingkat ketiga, duduk di bawah hiasan daun beringin, dengan balai persembahan di belakangnya.
Pangkon Dalam, yang terdiri dari tujuh perempuan dan tujuh laki-laki, mengelilingi Sultan di kiri dan kanan, bersama para belian, serta penduduk yang hadir di setiap sudut.
Prosesi ritual ini diatur oleh Demong Dewa Laki yang memimpin ritual dan Dewa Bini yang bertugas menghidupkan prapen (tempat api). Sultan kemudian ditutupi oleh Kirab Tuhing di atas kepala di bawah hiasan daun beringin oleh dua orang pembantu di kanan dan dua di kiri, dengan Kirab Tuhing dibalik sebanyak tiga kali, kemudian beras kuning dijatuhkan ke belakang.
Setelah itu, Dewa Laki dan Dewa Bini berdiri dan menghadap Sultan untuk memberikan Tepong Tawar dengan air bunga dan air cendera mata, yang diaplikasikan ke telapak tangan kanan, telapak tangan kiri, lutut kanan, lutut kiri, betis kanan, betis kiri, dan sebagian ke muka.
Setelah prosesi ini selesai, Sultan turun dari balai dan menuju salah satu petinggi setempat untuk melaksanakan Ketikai Lepas. Sultan kemudian berdoa sambil beristirahat, sementara para pembantu membawa air bunga dalam wadah untuk memberikan Tepong Tawar kepada seluruh yang hadir. Musik gamelan salaseh atau marandowo dimainkan selama upacara berlangsung.
Setelah Sultan menyelesaikan Beluluh, giliran Putra Mahkota menjalani ritual yang sama. Setelah Sultan melakukan Beluluh, ia tidak diperbolehkan menginjak tanah atau Betuhing hingga perayaan Erau berakhir, yang ditandai dengan belimbur.