Resopa Temmangingngi: Refleksi Budaya dan Definisi Sukses Masyarakat Bugis

Budaya merupakan bagian terpenting dari identitas suatu bangsa. Melalui budaya, setiap daerah mampu mendefinisikan keragaman dan keunikan tersendiri yang dimilikinya. Sehingga, aspek tersebut menjadi kekayaan yang tak ternilai yang setiap insan perlu maknai dan aplikasikan sehingga unsur keasliannya tidak luntur dan tetap lestari. 

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Resopa Temmangingngi. Sulawesi Selatan menjadi salah-satu provinsi di Indonesia yang memiliki budaya yang sangat beragam, mulai dari suku, bahasa, adat-istiadat hingga kearifan lokal di setiap daerah atau kabupaten pun berbeda. Suku Bugis contohnya, dikenal dengan suku dominasi pelaut ulung dan kerja keras serta kegigihan yang luar biasa. 

Tidak dapat dipungkiri jika pandangan tersebut lahir dari personalisasi setiap masyarakatnya yang hidup melalui pegangan falsafah “Resopa temmangingngi, namalomo naletei pammase dewata’e” yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Kerja keras yang pantang menyerah menjadi titian datangnya berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa”.  

Pappaseng (petuah) ini dipegang kuat oleh masyarakat suku bugis sebagai pedoman hidup utamanya untuk memicu semangat mereka dalam berusaha untuk mencapai tujuan yang ingin diraih.

- Advertisement -

Melalui pappaseng tersebut, motivasi dan kinerja mereka akan meningkat karena memegang teguh bahwa setiap usaha perlu dilalui dengan semangat pantang menyerah.

Banyak organisasi kedaerahan yang menggunakan pappaseng ini sebagai motto dan menjadikannya sebagai budaya kerja karena menjadi cerminan kuat performa yang berkualitas dan terus mendorong kemajuan.

Bahkan dalam sejarah, presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan petuah ini untuk menyemangati jajaran kabinetnya pada tahun 2009 silam.

- Advertisement -
Kapal phinisi
Kapal phinisi

Dalam upaya pengimplementasiannya, resopa temmangingi memiliki delapan nilai utama yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pertama Alempureng (Kejujuran), masyarakat suku Bugis memandang bahwa kerja keras perlu diiringi dengan kejujuran untuk mendorong integritas yang tinggi.

Kedua, Assitinajang (Kepatuhan), ialah setiap individu perlu mengetahui posisi masing-masing dalam sebuah kelompok dan melakukan pekerjaan sesuai dengan tupoksi masing-masing.

Ketiga, Amaccang (Kecerdasan), frasa “Kerja keras dan kerja cerdas adalah keharusan” sepertinya telah diimplementasikan sejak lama oleh Suku Bugis, menimbang bahwa kerja keras tidak harus hanya tentang aktivitas fisik namun juga perlu diimbangi dengan kecerdasan intelektual. Keempat, Agettengeng (Ketegasan), artinya setiap individu perlu teguh pendiriannya sehingga setiap tujuan yang diimpikan mampu tercapai tanpa distorsi yang berarti.

- Advertisement -
Baca Juga :  Menapaki 1000 Anak Tangga Menuju Zaman Prasejarah

Selanjutnya, yang kelima adalah Reso (Usaha), kunci dari sebuah kesuksesan adalah usaha dan tekad yang kuat. Rencana hebat namun tanpa diiringi dengan usaha keras adalah bagian dari kerangka target yang gagal.

Keenam, Siri (Malu/Harga Diri), masyarakat Bugis mengenal pedoman hidup “Siri’ na Pacce” yang berarti menjaga harga diri serta kokoh dalam pendirian sehingga aspek siri’ menegaskan jika dalam berupaya setiap individu perlu menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia yang terhormat dan tidak hanya mampu berbelas kasih tanpa upaya.

Ketujuh Ada tongeng (Ucapan yang Benar), sama halnya dengan kejujuran, Suku Bugis dalam mengupayakan segala sesuatu dituntut untuk berkata benar sesuai fakta dan tidak menyembunyikan kebenaran hanya untuk kepentingan pribadi.

Terakhir, Mappesona Ri Dewatae (Menyerahkan diri kepada kekuasaan Allah SWT), jiwa religius dan penyandaran diri terhadap Yang Maha Kuasa juga menjadi aspek penentu kesuksesan. Setiap usaha yang dilakukan perlu disertai dengan doa.

Resopa temmangingngi, namalomo naletei pammase dewata’e hanyalah satu dari banyak pegangan hidup yang membentuk karakter masyarakat Suku Bugis yang memiliki etos kerja dan semangat pantang menyerah yang tinggi.

Melalui penerapan falsafah budaya, diharapkan tidak hanya untuk melestarikan kearifan lokal yang ada namun juga dapat menjadi refleksi dalam pembangunan karakter yang berintegritas.

Artikel ini dibuat oleh Sahabat DIMENSI INDONESIA, EGA RUSANTI. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Kamu juga dapat mengirimkan tulisan di LINK INI.
- Advertisement -