Tanah Kelahiran Kapal Pinisi
Dari kisah sejarah pinisi, dikisahkan bahwa kapal tanggu ini berasal dari Tanah Bugis, tepatnya di Kabupaten Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis sejak zaman dulu memang dikenal sebagai pelaut ulung.
Mereka berlayar mengarungi samudera tidak hanya di Nusantara, tapi juga lautan lain di berbagai belahan dunia. Salah satu rahasia di balik ketangguhan Suku Bugis di lautan adalah berkat kapal pinisi yang mereka miliki.
Sebelum mengenal pinisi, Suku Bugis dan orang-orang Makassar sempat berlayar menggunakan kapal padewakang. Mereka biasanya berlayar mencari teripang ke lautan yang agak jauh. Pada masa itu, para pelaut di Tanah Bugis bahkan bisa menjelajah sampai ke perairan di daerah utara Benua Australia. Tidak heran jika kepiawaian yang mereka miliki bisa melahirkan pinisi sebagai kapal legendari hingga kini.
Proses pembuatan pinisi di tana kelahirannya masih dilakukan dengan menggunakan tangan. Kapal beroda pinisi sebagian besar dibuat oleh orang Ara yang berbahasa Konjo, sebuah desa di Kecamatan Bontobahari, Bulukumba.
Orang-orang di sana banyak menggunakannya sebagai kapal kargo. Sebelum terjadinya motorisasi transportasi perdagangan di Indonesia, pinisi merupakan kapal layar dengan ukuran paling besar di Indonesia.
Di tanah kelahiranyai, layar yang dipasang memiliki makna filosofis mendalam. Dua tiang layar utama yang dikembangkan, dilengkapi dengan tujuh buah layar. Tiga layar ditempatkan pada bagian paling ujung depan, sementara dia lagi di bagian depan kapal. Dua layar terakhir, berada di belakang kapal. Ketujuh layar itu menjadi simbol bahwa leluhur kita adalah pelaut-pelaut hebat yang mampu mengarungi tujuh samudera di berbagai belahan dunia.
Teknik Pembuatan Kapal Khas Zaman Nenek Moyang
Pinisi mendapatkan gelar sebagai kapal ajaib bukan tanpa sebab. Proses pembuatannya yang dilakukan dengan penuh ketelitian oleh tenaga-tenaga ahli adalah salah satu alasannya. Untuk membuat satu kapal pinisi, dibutuhkan tenaga ahli sebanyak kurang lebih 10 orang. Ahli pembuat kapal yang disebut Sawi ini biasanya dipimpin oleh 1 orang punggawa.
Sebelum proses pembuatan kapal dimulai, masyarakat setempat akan melakukan ritual adat. Proses memilih kayu, menebang, perencanaan, pembuatan sampai berlayarnya kapal pertama kali harus diikuti dengan serangkaian upacara adat. Hal ini dimaksudkan agar kapal yang dibuat bisa berlayar sesuai dengan fungsinya sampai kayunya lapuk dan tidak bisa digunakan lagi.