Memburu Matahari di Puncak Rinjani

Pukul 2 dini hari. Langkah kaki ratusan pendaki membangunkan kami dari lelapnya malam. “Ayo bangun, kita harus memburu matahari pagi!” Kibo mengguncang-guncangkan badanku.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Sedini ini? Udara masih begitu membekukan. Saat aku bicara, uap putih keluar dari mulut. “Kita kayak berada di luar negeri ya,” kataku pada Kibo setengah sadar.

Layaknya anak-anak yang mendapat main baru, aku bermain-main dengan uap mulutku sendiri. Ngomel apapun asalkan uap putih itu keluar.

Puas bermain, aku memasukkan tujuh potong sosis dalam saku celanaku sambil mencari botol berisi air. Keduanya akan jadi energi buatku menaklukan puncak. Aku masih ingat pembicaraanku dengan porter siang tadi, katanya, puncuk Rinjani begitu ‘mematikan’ bagi orang yang tak biasa mendaki gunung. “Puncak Rinjani memang indah namun tak mudah untuk menikmatinya”

- Advertisement -

Malam terasa datang lebih cepat. Terutama bagi mereka yang gelisa. Seperti aku.

Dini hari itu aku meminta untuk tidak dibebankan membawa apapun menuju puncak. Tas yang siang tadi aku bawa, isinya dikeluarkan dan hanya diisi botol air dan biskuit lalu dibawa oleh Kibo.

Aku berdiri di depan tenda. Menghamburkan pandangan, tertegun melihat Dewi Rinjani dalam gelap malam. Rinjani seperti berdiri megah bermandikan bintang. Barisan lampu-lampu kecil tampak berbaris seperti semut bercahaya dijalur pendakian.

- Advertisement -

Aku menarik nafas panjang, dingin yang amat sangat menusuk-nusuk lapisan kain yang sudah bertumpuk sekenanya, mengurangi dingin malam. Hanya melihat sudut kemiringan jalur saja sudah membuatku merinding.

Pukul 2:15, aku mulai bergerak, berjalan menyusuri hutan cemara yang gelap. Beberapa pendaki berjalan di depan dan di belakang dengan bawaan seadanya. Dini hari itu, Rinjani penuh dengan cahaya kecil dan uap hangat yang keluar dari mulut para pendaki yang berjalan menunduk kedinginan.

Aku termasuk pendaki yang berangkat lebih awal agar bisa tiba tepat waktu. Namun, perjalanan menuju puncak tak semudah yang kuinginkan, jauh lebih sulit dari jalur yang aku lalui siang tadi.

- Advertisement -
Baca Juga :  Rinjani dan Rindu yang Menjadi-jadi

Baru beberapa meter melangkah, para pendaki lainnya satu persatu menyusulku. Bukan karena langkah mereka yang cepat namun langkahku yang melambat.

Jalurnya berpasir dengan kemiringan mendekati 70 derat adalah penyebabnya. Setiap kali melangkah, pijakan kaki terperosot. Dua kali melangkah, mundur lagi selangka.

Pasir membuat langkah makin berat. Belum lagi, lampu yang aku bawa adalah senter tangan yang harus selalu kuarahkan. Ritme langkah kuatur, 10 kali langkah lalu istirahat. Begitu seterusnya. Hal ini terpaksa kulakukan untuk menyesuaikan kemampuan tubuhku.

Desir desir suara angin didedaunan terdengar dikesunyian malam. Entah kenapa langit malam  dengan beribu bintangnya menjadi begitu indah malam itu. Ranting pohon dan dedaunan bergerak lambat, mencoba menggapai langit malam. Dini hari itu, Rinjai seperti penuh dengan hangatnya kebersamaan antar sesama umat manusia yang mungkin belum pernah mengenal satu sama lain.

Tetapi, diatara langkah-langkah pendaki yang kelelahan, terasa kehangatan yang  membuat setiap bibir selalu tersenyum kepada siapa saja.

“Tak boleh lama-lama beristirahat.” Aku terus berjalan sambil menunduk, menyusuri setapak yang terus mendaki tanpa ujung.

Pukul 3, tak terasa permukaan tanah mulai mendatar. Aku tiba pada tepian tebing. Diri sini, awan putih menjadi sangat dekat dan bisa tersentuh.

Dari ketinggian itu, Segar Anak bak air yang muncul seperti tetes air raksasa yang jatuh dari langit dan membesar. Sebuah danau diketinggian dengan pohon pinus dan cemara yang berbaris rapi disekelilingnya.

Air danau tampak mengilap memantulkan bayangan bintang. Langit seolah bercermin di permukaannya, membuat langit seperti pindah dan menyatu dengan permukaan air. Dari kejauhan tampak anak Rinjani mengepulkan asap, seolah tersenyum menyambut kedatang ratusan pendaki setiap harinya. Aku terdiam melihat pemandangan luar biasa itu.

Baca Juga :  Koteka, Dianggap Sebagai Lambang Primitif

Dari sini, jalan setapak sedikit lebih landai. Namun, harapanku akan perjalanan yang mudah tak terkabulkan. Memang tak seterjal jalur sebelumnya, namun pasir dan batu-batuan membuat langkah kaki begitu berat digerakkan. Aku beberapa kali terjatuh karena salah memilih pijakan. Kadang juga harus menahan perinya tertimpah batu yang menggelinding.

Dari sini juga, setiap langkah harus penuh kehatian-hatian. Jalur yang tak begitu lebar dengan kedua sisinya jurang membuatku harus memperhitungkan langkah di bawah cahaya bintang. Kelelahan yang sangat membuat langkahku tanpa sadar melambat.

Sial. Senter tangan yang aku bawa, tak berfungsi dengan baik. Ia kadang mati dengan sendirinya. Harus ditumbuk-tumbuk dulu agar berfungsi lagi. Beruntung, saat itu hampir pagi. Sang mentari telah memberi sinarnya walau ia belum terlihat.

500 meter dari puncak aku merasakan belaian awan untuk pertama kalian. Pukul 5 lewat, tampak matahari mengintip dari ufuk timur. Lalu menghambur warna jingga yang bergelora. Sejurus kemudian biru. Biru merangkai angkasa. Lautan awan terlihat tak berujung.

Saat itu waktu seakan berhenti. Langit terasa begitu dekat. Betul kata penyair, sunset adalah cara tuhan paling romantis memperlihatkan keindahannya. “Apa kabar sang pencipta, aku anakmu. Aku akan menjaga keindahanmu. Janji!”

Angin pagi dan matahari hangat ikut menyapa. Namun, langkah menuju puncak belum mencapai ujung. 400 meter lagi. Para pendaki menjuluki setapak itu, tanjakan penyesalan. Kenapa? Bayangkan aku butuh 1 jam 30 menit hanya untuk melalui 400 meter itu.

Ketika matahari telah terbit, aku masih setengah jalan dari jalur ini. Begitu sulit, jalur berpasir jadi penyebabnya. Setiap langka begitu sulit digerakkan. Kakiku tertanam terlalu dalam hingga sulit melangka maju.

gunung rinjani
Jalan menajak yang membuat kapok para pendaki, begitu sulit didaki padahal hany 400 meter namun saya butuh 2 jam untuk melaluinya

Daratan berpasir itu seperti sebuah papan seluncuran besar menjulang indah diketinggian menggapai langit, disekeliling tampak langit biru-sebiru-birunya dengan sinar matahari yang begitu dekat, awal putih berkumpul menutupi daratan.

Kalau bukan karena kekuatan tekat dan keyakinan, mungkin hari itu aku berakhir seperti temanku yang memutuskan turun lebih awal. Perjalan yang setiap langkahnya terasa semakin berat itu menjadi agak ringan.

Kerumunan pendaki yang telah sampai lebih dulu tampak bersujut syukur, saling berpelukan. Yang lain tampak bergembira berfoto ria dengan latar belakang danau Segar Anak dan lautan awan.

Diketinggian ini, kebahagian seperti terbang ke langit dari tanah ini, di pagi yang begitu indah ini, diantara kebahagian ini, di tanggal 15 Mei 2018, pukul 7.10 aku berdiri di atas ketinggian 3726 mdpl.

- Advertisement -