Di antara desiran ombak dan hembusan angin laut yang membentang luas di Nusantara, berdirilah sebuah simbol kejayaan maritim yang tak lekang oleh zaman: pinisi. Bukan sekadar kapal, pinisi adalah mahakarya yang lahir dari tangan-tangan terampil masyarakat pesisir Sulawesi Selatan, menjadi bukti bahwa jiwa pelaut telah lama mengalir dalam nadi bangsa ini.
Dalam sejarahnya, pinisi tak pernah sepi dari pelabuhan. Kapal layar dua tiang dengan tujuh lembar layar ini dahulu menjadi pemandangan biasa di dermaga Hindia Belanda. Namun lebih dari sekadar alat angkut, pinisi adalah perwujudan falsafah hidup orang Bugis yang merantau dan menjelajah dunia. Tujuh layar yang dibentangkan bukan hanya simbol keberanian, tetapi juga melambangkan kesiapan mengarungi tujuh samudra.
Legenda dan Asal Usul
Masyarakat Bugis memiliki cerita turun-temurun yang menghubungkan kelahiran pinisi dengan kisah epik Sawerigading, tokoh utama dalam Sureq Galigo. Alkisah, kapal Sawerigading karam diterjang badai dalam pelayarannya dari negeri Tiongkok. Potongan kapalnya terdampar di pesisir Bulukumba dan disusun kembali oleh warga menjadi kapal baru yang kemudian disebut pinisi.
Namun catatan sejarah mencatat bahwa kapal pinisi mulai dikenal sebagai kapal dagang pada pertengahan abad ke-19. Desainnya merupakan hasil akulturasi budaya—menggabungkan sistem layar tanjaq, lambung khas kapal pa’dewakang dan palari, serta teknik pembuatan schooner dari Eropa. Maka jadilah pinisi sebagai kapal khas Indonesia, lahir dari pertemuan ilmu tradisional dan pengaruh kolonial.
Bonto Bahari: Galangan Jiwa dan Tradisi
Bagi siapa pun yang ingin menyaksikan langsung kelahiran sebuah pinisi, Bonto Bahari di Kabupaten Bulukumba adalah tempatnya. Sekitar lima hingga enam jam dari Makassar, di pesisir selatan ini terhampar tiga desa pengrajin kapal: Ara, Bira, dan Lemo-Lemo. Di sini, mata pencaharian utama masyarakat adalah membuat kapal, termasuk pinisi, dengan teknik dan nilai yang diwariskan lintas generasi.
Proses pembuatan pinisi tidaklah sederhana. Tiap bagian kapal dirancang tanpa desain tertulis, hanya mengandalkan ingatan dan keahlian para punggawa—julukan bagi ahli pembuat kapal. Mereka adalah sosok yang tak hanya terampil secara teknis, tetapi juga pemangku nilai sakral dalam tiap helai kayu dan palu yang diketuk.