Nasu Palekko: Pedasnya Sidrap, Hangatnya Tradisi

Kini, nasu palekko bukan hanya milik orang Sidrap.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Dalam perjalanan menuju Tana Toraja, ketika jalan menanjak mulai berliku di antara perbukitan hijau dan lembah subur, aroma khas rempah tiba-tiba menyelinap di udara. Itu pertanda bahwa Anda mulai memasuki wilayah Sidenreng Rappang—atau Sidrap, seperti orang Bugis menyebutnya.

Di sinilah sebuah legenda kuliner lahir dan bertahan lintas generasi: nasu palekko, hidangan bebek cincang yang membakar lidah sekaligus menyalakan kenangan.

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, nasu palekko bukan sekadar makanan. Ia adalah wujud dari cara hidup—pedas, berani, dan penuh karakter. Di setiap potongan daging bebek cincang, tersimpan filosofi tentang keteguhan, ketulusan kerja, dan cinta pada cita rasa yang jujur.

- Advertisement -

Aroma dari Dapur-Dapur Bugis

Begitu Anda melangkah ke sebuah warung di pinggiran Kota Pangkajene Sidrap, suasana khas langsung terasa. Di depan warung berdiri kandang kecil berisi bebek-bebek yang sesekali berkokok pelan.

Itulah penanda klasik rumah makan nasu palekko. Di dalamnya, dapur terbuka mengepulkan asap wangi dari campuran cabai, bawang, jahe, dan serai yang ditumis hingga harum menusuk hidung.

Beberapa rumah makan di sini tidak menyiapkan masakan dalam jumlah besar. Mereka hanya memasak ketika ada pesanan. Seekor bebek baru akan dipotong, dicincang halus—termasuk bagian leher, daging, hingga jeroan—kemudian dimasak bersama bumbu kuning khas Makassar. Cara ini membuat nasu palekko terasa selalu segar, dengan tekstur daging yang kenyal dan aroma yang kuat.

- Advertisement -

“Rahasianya ada pada sambalu,” kata seorang penjual sambil tersenyum, merujuk pada bumbu dasar pedas yang diracik dari cabai merah dan rawit. “Harus cukup pedas supaya jiwa Bugisnya terasa.”

Hidangan Legendaris di Meja Sederhana

Saat sepiring nasu palekko tersaji di meja kayu, warna oranye pekat dari rempah-rempahnya langsung menggoda. Asap tipis naik bersama aroma serai dan jahe, lalu menggigit begitu sendok pertama menyentuh lidah. Pedasnya tidak sekadar membakar, tapi menari—membangkitkan rasa hangat di tubuh dan keringat di pelipis.

Baca Juga :  Nasi Balap Puyung, Makanan khas Lombok yang Rasanya Bikin Rindu

Dengan harga sekitar Rp20.000 per porsi, Anda sudah bisa menikmati pengalaman kuliner yang tak terlupakan. Sepiring nasi hangat menjadi pasangan wajib, sementara pisang manis biasanya disediakan sebagai penetral setelah rasa pedas yang menggigit. Dalam satu suapan, terasa bagaimana masakan ini mencerminkan watak orang Sidrap—tangguh, hangat, dan tanpa basa-basi.

- Advertisement -

Jejak Sejarah di Setiap Sendok

Konon, nasu palekko lahir dari masa ketika masyarakat Bugis hidup sederhana dan memanfaatkan setiap bagian dari hewan ternak. Daging bebek yang keras dan berlemak diolah dengan cara dicincang halus dan dimasak lama agar empuk, lalu dipadukan dengan rempah pedas agar tahan lama.

Dari dapur-dapur tradisional itulah, hidangan ini berkembang menjadi kuliner kebanggaan Sidrap, diwariskan dari generasi ke generasi tanpa kehilangan jati dirinya.

Kini, nasu palekko bukan hanya milik orang Sidrap. Ia telah menyeberang ke Makassar, Parepare, hingga Toraja—dibawa oleh perantau yang rindu aroma kampung halaman. Namun, hanya di tanah asalnya, di Sidrap, rasa autentiknya benar-benar hidup: pedas yang membakar, tetapi meninggalkan kehangatan yang membuat siapa pun ingin kembali.