Pagi baru saja merekah di tepian Sungai Martapura. Aroma santan yang dimasak perlahan di atas tungku kayu bercampur dengan wangi pandan yang semerbak. Di antara jajaran wadai Banjar—sebutan untuk jajanan pasar khas Kalimantan Selatan—terdapat satu kue yang tampil anggun dalam kesederhanaannya: kue sarimuka, dengan lapisan hijau lembut di atas dasar ketan putih yang pulen.
Di balik keindahan dua lapisan itu tersimpan kisah panjang percampuran budaya, perjalanan rasa, dan kearifan kuliner masyarakat Melayu yang tersebar dari Kalimantan hingga Semenanjung Malaya. Sarimuka bukan sekadar kue, tetapi simbol penyatuan antara rasa dan makna—antara yang manis dan yang gurih, antara daratan dan lautan, antara masa lalu dan kini.
Jejak Kuliner di Tepian Sungai
Kue sarimuka, atau yang di Malaysia dan Singapura dikenal dengan nama seri muka atau puteri salat, dipercaya telah hadir sejak masa perdagangan rempah di perairan Selat Malaka. Para pedagang Melayu yang membawa beras ketan, gula merah, dan santan menjadikan kue ini sebagai bekal perjalanan, karena dapat bertahan lama dan mengenyangkan.
Di Kalimantan Selatan, masyarakat Banjar mengenalnya sebagai salah satu “wadai wajib” dalam Pasar Wadai Ramadan—pasar yang hanya buka selama bulan puasa, tempat aneka kudapan tradisional dijual menjelang waktu berbuka. “Kalau bulan Ramadan tanpa kue sarimuka, rasanya seperti puasa tanpa takjil,” ujar Nurhidayah, seorang pedagang di Pasar Ujung Murung, Banjarmasin.
Lapisan Simbolik: Antara Rasa dan Makna
Kue sarimuka terdiri atas dua lapisan dengan filosofi tersendiri. Bagian bawah terbuat dari ketan putih yang gurih dan padat, melambangkan keteguhan dan kerja keras masyarakat Melayu yang berpijak pada tanah dan hasil bumi. Sementara bagian atasnya, lembut berwarna hijau dari sari daun pandan dan suji, melambangkan kesucian, kesejukan, dan keindahan budi.
Dalam beberapa tradisi pernikahan Melayu, kue sarimuka kerap disajikan sebagai simbol keselarasan hidup rumah tangga—dua lapisan yang berbeda namun menyatu sempurna, saling melengkapi seperti manis dan gurih yang tak dapat dipisahkan.
Dari Dapur Banjar ke Warisan Dunia Melayu
Kue ini dibuat dengan cara yang masih lestari hingga kini. Beras ketan direndam semalaman agar pulen, lalu dikukus setengah matang sebelum dituangi adonan santan yang telah dicampur tepung beras, gula, dan perasan daun pandan. Setelah itu dikukus kembali hingga mengeras dan mengilap di permukaan, menandakan kue siap dihidangkan.
Warna hijaunya bukan sekadar hiasan—itu adalah warisan pengetahuan alam. Daun pandan dan daun suji yang tumbuh di halaman rumah menjadi pewarna alami yang harum dan aman. Bahkan dalam tradisi Banjar lama, proses menghaluskan daun suji dilakukan dengan tangan perempuan tertua di rumah, karena dipercaya tangan mereka membawa “doa dan ketenangan” pada adonan.
Dari Kalimantan ke Semenanjung
Popularitas sarimuka menembus batas geografis. Di Malaysia, seri muka ditetapkan sebagai salah satu dari 100 Warisan Makanan dan Minuman Negara oleh Jabatan Warisan Negara pada 2009. Sementara di Indonesia, selain menjadi ikon kuliner Banjar, kue ini juga ditemukan di Lombok dan Riau, dua daerah yang juga kental dengan budaya Melayu pesisir.
Setiap wilayah memberi sentuhan lokalnya. Di Lombok, sarimuka kerap disajikan dengan ketan hitam di lapisan bawah. Di Riau, ada versi yang diberi taburan wijen sangrai di atas permukaannya. Namun satu hal yang tak berubah: perpaduan rasa gurih santan dan manis pandan yang menyatu dalam gigitan pertama.
Warisan Rasa yang Lintas Generasi
Dalam era modern yang serba cepat, kue sarimuka tetap bertahan—bukan hanya karena rasanya, tetapi karena makna di baliknya. Ia menjadi penanda identitas kuliner Melayu, yang melekat pada filosofi “manis bukan untuk memanjakan, tapi untuk mengingatkan bahwa hidup harus seimbang.”
Di tangan para penjual di pasar tradisional, di meja perayaan keluarga, hingga di rak toko kue modern di Banjarmasin, Kuala Lumpur, atau Singapura, sarimuka terus hidup. Setiap lapisnya adalah narasi tentang peradaban sungai, harmoni rasa, dan kearifan perempuan Melayu yang menenun sejarah lewat dapur.


