Di jantung hutan hujan Kalimantan, ketika udara lembap bercampur aroma tanah dan dedaunan yang baru diguyur hujan, tumbuhlah pohon-pohon cempedak yang menjulang di antara pepohonan tropis lainnya. Dari sanalah lahir salah satu kuliner paling autentik dan nyaris mistis dari tanah Banjar: mandai.
Bagi masyarakat Kalimantan Selatan, mandai bukan sekadar makanan, melainkan warisan rasa yang menghubungkan manusia dengan alamnya. Sementara di Kalimantan Tengah, masyarakat lebih mengenalnya dengan nama dami — sebutan yang berbeda, namun ruhnya tetap sama: kejujuran rasa dari kulit buah cempedak.
Buah cempedak (Artocarpus integer), atau tiwadak dalam bahasa Banjar, sejatinya adalah kerabat dekat nangka. Buah ini tumbuh liar di hutan-hutan dataran rendah Kalimantan, baik di hutan primer yang masih perawan maupun di hutan sekunder yang mulai disentuh manusia.
Dalam keseharian masyarakat lokal, cempedak tak hanya dinikmati daging buahnya yang manis dan harum, tetapi juga kulitnya yang berwarna putih kekuningan — bagian yang bagi banyak orang dianggap limbah, namun oleh masyarakat Banjar diolah menjadi makanan penuh cita rasa dan nilai budaya.
Prosesnya pun memikat, seolah memperlihatkan bagaimana tradisi dan sains berpadu di dapur masyarakat pedalaman. Kulit cempedak dipisahkan dari lapisan luar yang keras, lalu direndam dalam air garam selama beberapa hari, bahkan berminggu-minggu, untuk melalui proses fermentasi alami.
Dari sinilah lahir mandai — bahan makanan bertekstur lembut dengan aroma khas hasil fermentasi. Mandai yang sudah siap kemudian diolah dengan berbagai cara: digoreng hingga renyah, ditumis pedas bersama cabai dan bawang, dimasak dengan santan menjadi mandai batanak, atau dijadikan sambal yang menggoda selera.
Namun, di balik rasa gurih dan asamnya yang memikat, mandai juga menyimpan filosofi tentang keberlanjutan. Kulit yang semula terbuang kini menjadi sumber pangan bernilai tinggi, mencerminkan kearifan masyarakat Kalimantan dalam memanfaatkan hasil hutan secara utuh.


