Di pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Barat, setiap kali air laut surut dan matahari pagi mulai menghangatkan lumpur bakau, para nelayan dan ibu-ibu pesisir akan turun ke tepian dengan ember di tangan.
Mereka menunduk sabar, mengais lumpur lembut di antara akar bakau yang menjulang. Dari situ, satu per satu muncul cangkang kecil berkilau kecokelatan — ale-ale, si kerang pesisir yang telah menjadi sumber kehidupan dan rasa bagi masyarakat Kalimantan selama berabad-abad.
Lebih dari Sekadar Kerang
Bagi masyarakat pesisir Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, ale-ale bukan sekadar bahan makanan. Moluska bercangkang dua ini hidup di perairan dangkal berlumpur, terutama di kawasan mangrove dan muara sungai yang tenang.
Rasanya gurih, sedikit asin dengan tekstur kenyal yang khas, menjadikannya primadona di dapur rumahan maupun rumah makan tepi pantai. Hidangan seperti tumis ale-ale pedas, ale-ale asam manis, hingga sate ale-ale kini bukan hanya menu sehari-hari, tetapi juga bagian dari kebanggaan kuliner masyarakat pesisir Kalimantan.
Di Singkawang, bahkan digelar Festival Ale-ale setiap tahun untuk merayakan kekayaan laut lokal yang satu ini.
Ekosistem Mangrove dan Jejak Kehidupan
Secara ilmiah, ale-ale termasuk dalam kelompok Bivalvia, kerabat dekat remis dan kijing, yang hidup menempel di dasar lumpur. Ia berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir — menyaring plankton dan zat organik dari air, serta membantu menjaga kejernihan perairan.
Masyarakat lokal memandang keberadaan ale-ale sebagai tanda alam. Jika ale-ale banyak ditemukan di perairan mereka, itu berarti laut sedang “sehat.”
Kearifan ini menjadi bukti betapa masyarakat pesisir Kalimantan hidup berdampingan dengan alam, memahami siklus pasang surut, arah angin, hingga waktu terbaik untuk mencari rezeki di antara akar bakau.
Tradisi Menangkap Ale-ale: Antara Ritual dan Gotong Royong
Menangkap ale-ale bukan pekerjaan yang tergesa-gesa. Biasanya dilakukan pada pagi hari ketika air laut surut paling rendah — momen yang oleh masyarakat lokal disebut air mati.
Dengan tangan telanjang, mereka menggali lumpur di sekitar akar bakau sambil membawa ember kecil atau karung jala.
Ada pula tradisi turun-temurun yang disebut bamasang ale-ale, di mana warga satu kampung bekerja bersama mencari ale-ale untuk acara besar, seperti selamatan laut atau pesta nelayan.
Hasil tangkapan dibagi rata, lalu sebagian dimasak bersama di tepi pantai.
Menu andalan seperti tumis ale-ale jeruk kunci atau ale-ale santan pedas disantap ramai-ramai, disertai canda dan lagu-lagu laut Banjar yang menggema di antara debur ombak.
Beberapa komunitas nelayan di Tarakan dan Tanjung Redeb juga memiliki kebiasaan “mapalus laut”, yakni semacam gotong royong untuk memperbaiki perahu dan menangkap hasil laut bersama.
Dalam tradisi ini, ale-ale sering menjadi simbol kebersamaan — kecil tapi banyak, seperti rezeki yang akan cukup bila dibagi bersama.
Kandungan Gizi dan Nilai Ekonomi
Dibalik bentuknya yang mungil, ale-ale menyimpan kandungan nutrisi tinggi.
Menurut data Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan, 100 gram ale-ale mengandung sekitar 14 gram protein, 2,5 gram lemak sehat, dan beragam mineral penting seperti zat besi, seng, serta kalsium.
Kandungan proteinnya tinggi namun rendah kolesterol, menjadikannya sumber pangan ideal bagi masyarakat pesisir.
Secara ekonomi, ale-ale juga menjadi penopang hidup banyak keluarga nelayan kecil.
Harga jualnya di pasar tradisional berkisar Rp15.000–Rp25.000 per kilogram, tergantung musim dan ukuran.
Di beberapa daerah seperti Balikpapan, Tarakan, dan Singkawang, olahan ale-ale bahkan mulai dijajakan di restoran modern sebagai kuliner khas daerah, memperluas jangkauannya hingga ke wisatawan luar pulau.
Warisan Rasa dan Identitas Pesisir
Dalam budaya pesisir Kalimantan, setiap hidangan laut selalu membawa makna.
Ale-ale melambangkan kesabaran dan ketekunan, karena untuk mendapatkannya diperlukan waktu, kerja keras, dan keselarasan dengan alam.
Aroma laut yang khas dari daging ale-ale dipercaya sebagai pengingat akan pentingnya laut sebagai sumber kehidupan, bukan sekadar ladang rezeki.
Kini, di tengah arus modernisasi dan pesatnya industri pesisir, ale-ale tetap bertahan sebagai simbol identitas kuliner Kalimantan. Ia mengingatkan bahwa di balik hidangan sederhana yang gurih itu, tersimpan filosofi hidup masyarakat pesisir yang selalu menghormati alam dan berbagi rezeki.
Dari Lumpur ke Meja Makan: Sebuah Perjalanan Rasa
Ketika sore tiba dan matahari tenggelam di balik hutan bakau, aroma tumis ale-ale pedas sering tercium dari dapur-dapur rumah panggung pesisir. Asap tipis membumbung, suara wajan berdesis bersahutan dengan tawa anak-anak yang bermain di tepi air.
Hidangan sederhana itu menyatukan keluarga, menjadi cerminan cinta terhadap tanah dan laut yang telah memberi kehidupan. Di setiap gigitan ale-ale, tersimpan cerita panjang — tentang laut yang sabar, manusia yang tekun, dan tradisi yang tak pernah lekang oleh waktu.


