Di banyak tempat di dunia, kematian kerap dilihat sebagai perpisahan yang memilukan, akhir dari sebuah perjalanan hidup. Namun tidak demikian halnya di Sumba. Di tanah berangin ini, kematian justru dimaknai sebagai langkah awal menuju alam baru. Sebuah transisi sakral yang tak hanya mengantar arwah menuju keabadian, tetapi juga mengikat erat keluarga dan komunitas dalam ritual yang penuh makna.
Orang Sumba memperlakukan kematian dengan penuh penghormatan. Tak jarang, upacara kematian berlangsung megah, bahkan mewah, dan jasad mendiang dikebumikan di dalam kubur batu megalitik—batu besar yang tersebar di seluruh pulau.
Sumba adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang masih mempertahankan budaya megalitik hidup-hidup, bukan sebagai fosil sejarah, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Bagi penganut kepercayaan Marapu, kematian adalah proses kelahiran kembali. Roh seseorang yang meninggal diyakini akan meninggalkan tubuh seperti udang atau ular yang menanggalkan kulitnya. Ungkapan adat “Njulu la kura luku, halubu la mandu mara” menggambarkan peralihan ini dengan puitis.
Roh akan menuju Prai Marapu, dunia para leluhur, tempat yang penuh kedamaian dan keabadian. Tapi untuk sampai ke sana, ia butuh upacara. Ia harus diantar dengan hormat oleh keluarga yang masih hidup.

Jenazah dibungkus dalam tenunan terbaik, dibaringkan dalam posisi meringkuk seperti janin, simbol dari kelahiran kembali di alam arwah. Sebelum dikebumikan, ia disemayamkan di beranda rumah, menanti kehadiran keluarga besar dari berbagai penjuru.
Masing-masing datang membawa persembahan—baik berupa doa, hewan korban, maupun benda-benda berharga sebagai bekal kubur. Setelah seluruh keluarga berkumpul, jenazah akan diarak dengan penuh penghormatan dan dirayakan sebagai bagian dari perjalanan pulang ke asal.
Upacara pemakaman di Sumba sangat kompleks, dan bervariasi antara satu kampung dengan kampung lainnya. Namun, satu hal yang nyaris selalu hadir adalah hewan korban. Kuda, anjing, ayam—semuanya memiliki makna spiritual. Kuda akan menjadi tunggangan roh di alam baka, anjing akan menjaga dan menuntunnya, sementara ayam dipercaya akan membangunkan roh setibanya di dunia arwah.
Jasad yang telah disiapkan akan ditempatkan di dalam kubur batu yang monumental. Kubur-kubur ini bisa ditemukan di tengah kampung, di bukit, bahkan di tepi jalan. Bentuknya beragam: dari dolmen sederhana berbentuk meja, hingga dolmen bertingkat dengan ukiran megah.
Pemindahan batu ke lokasi kubur, dikenal dengan ritual tingi watu, adalah prosesi yang memerlukan ratusan orang. Batu-batu besar itu bisa mencapai puluhan ton, dan pemindahannya menjadi bagian penting dari penghormatan terakhir.

Beberapa kubur milik bangsawan dilengkapi dengan penji—tugu batu berhias ukiran, biasanya bermotif seperti yang ada di kain tenun. Ukiran itu bukan sekadar estetika; ia adalah penanda identitas, klan, dan status sosial.
Kubur batu bisa menampung lebih dari satu orang. Biasanya pasangan suami istri, kadang seluruh keluarga besar. Penempatannya di tengah kampung adalah bentuk hubungan abadi antara yang hidup dan yang telah tiada.
Biaya untuk menggelar upacara pemakaman adat tidak kecil. Mengumpulkan ratusan orang, menyediakan puluhan hewan korban, serta menghadirkan batu megalitik yang mahal membuat biaya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Tak heran banyak keluarga menunggu bertahun-tahun sebelum akhirnya mampu menggelar pemakaman adat yang layak. Bahkan, saat ini sebagian masyarakat beralih menggunakan beton dan semen sebagai alternatif yang lebih terjangkau.
Namun, di balik seluruh kerumitan dan pengorbanan itu, tersimpan nilai-nilai yang mendalam. Upacara kematian adalah tentang gotong royong, tentang cinta yang tidak selesai hanya karena kematian, dan tentang keyakinan bahwa kehidupan terus berjalan—hanya berpindah wujud. Masyarakat Sumba percaya bahwa mendiang akan berkumpul kembali dengan para leluhur, bersukacita di Prai Marapu, tempat damai yang kekal.
Dan bagi yang ditinggalkan, keikutsertaan dalam tiap ritual bukan semata kewajiban, tapi bentuk cinta. Sebuah cara untuk mengantar orang yang dicintai dalam perjalanan terakhir mereka—yang bukan menuju akhir, melainkan kembali ke asal.